Selasa, 13 November 2007

Kearifan Lokal : kemanakah sinar budaya dan tradisiku kini ?


(Sebuah Jeritan putra bumi pertiwi yang mulai tidak mengenal wajah ibu pertiwinya)

Jawa, secara geografis, adalah salah satu nama pulau dan suku terbesar di Indonesia, terlepas orang-orang Jakarta dan sekitarnya menganggapnya beda, mereka pada umumnya menganggap jawa secara geografis ialah daerah jawa tengah dan jawa timur. Terlepas dengan anggapan itu semua bahwa dalam kenyataannya jawa adalah sebagaimana yang dipahami oleh comansense, yaitu nama suku dan pulau jawa itu sendiri.

Kemudian karena suku jawa adalah suku yang dominan di negeri ini maka maju mundurnya negeri ini ialah tergantung pada maju mundurnya orang jawa dalam segi SDM-nya, baik yang bersifat lahiriyah (material) maupun batiniyah (spiritual), dan pastinya hal ini tidak mengesampingkan keterlibatan suku-suku yang lainnya. Kenapa orang jawa lebih ditekankan disini, karena selain kwantitasnya yang besar juga karena posisinya yang strategis karena secara geografis dekat dengan pusat kepemerintahan. Maka dari itu orang jawa mempunyai prioritas tinggi dalam menentukan maju mundurnya negri ini.

Sedang secara politis kebudayaan, jawa adalah nama dari sebuah peradaban yang telah muncul di Indonesia dengan standarisasi atau karakter-karakter tertentu yang kemudian dibakukan menjadi sebuah aturan nilai-nilai yang terangkum dan include dalam tradisi dan budaya jawa. Arti yang terakhir ini ialah sudah melampaui batas-batas geografis. Dalam arti tidak harus orang yang lahir dari keturunan jawa saja yang bias dikatakan jawa, tetapi orang diluar suku jawa yang berprilaku sebagimana yang telah ditetapkan pada nilai-nilai yang diakui jawa bias dikategorikan didalamnya dan begitupun sebaliknya. Semisal terdapat orang yang secara geografis dan suku adalah jawa, namun dalam tingkah laku kesehariannya tidak sesuai dengan nilai-nilai jawa, maka dari itu orang yang seperti itu sering dikatakan orang yang ora jawani, artinya orang jawa yang tidak seperti orang jawa atau the other.

Memang, menurut sepengetahuan penulis, jawa dalam arti politis kebudayaan adalah sebuah kumpulan nilai-nilai adiluhung yang tercipta dari olah cipta, rasa dan karya orang-orang jawa dulu (secara geografis dan suku) dalam memahami makna kehidupan yang diperuntukkan bagi keselarasan kehidupan. Baik yang berkenaan dengan jalur ke Tuhan (Vertikal), antar manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam sekitarnya (Horizontal). Mungkin kalau dalam istilah islamnya adalah keselarasan antara Hablu Minallah, Hablu Minannas, dan Hablu Minal Alam. Dan di titik inilah, yang menurut hemat penulis, hal yang sangat berarti dan penting yang terdapat pada nilai-nilai jawa.

Namun, semua itu kini seakan tinggal kenangan dan menjadi sejarah belaka. Disana sini banyak terjadi ketidakseimbangan. Semisal terjadinya bentrok antar agama, antar aliran, eksploitasi SDA secara besar-besaran dan yang sejenis lainnya. Hal ini bisa terjadi tidak lain disebabkan oleh hilangnya nilai-nilai adiluhung jawa pada hati sanubari masyarakat jawa itu sendiri. Sebagimana yang telah diterangkan diatas, bahwa orang jawa, dengan nilai ke-jawaan-nya, ialah orang yang penuh sopan santun, gotong royong, tepo seliro, toleransi, pluralisme dan mendasarkan diri pada keseimbangan hidup. Namun dalam realita yang terjadi dewasa ini, orang jawa lebih cenderung bersikap berbalik dengan nilai-nilai tradisi dan budayanya. Mereka lebih cenderung bersikap Individualis, mudah terprofokasi dan juga fanatic sempit.

Kemudian kenapa nilai-nilai adiluhung jawa tersebut bisa hilang sirna dari jiwa orang jawa ?, inilah pertanyaan penting yang harus kita pecahkan dengan pemikiran yang mendalam. Menurut hemat penulis, semua itu terjadi dikarenakan adanya ekspansi budaya-budaya baru (Arab dan Eropa (Barat) pada budaya dan tradisi jawa. Disamping itu orang-orang jawa juga kurang mampu dalam mem-filter-nya. Mana yang sesuai tradisi dan kebudayaannya dan mana yang tidak, mana yang mashlahah dan mana yang mudlorot. Sikap seperti ini akan membuat orang jawa tercerabut dari historisnya (incontinuitas) yang kemudian akan lupa dengan jati dirinya yang sebenarnya tidak kalah dengan apa yang telah dibawa dan dikampayekan oleh budaya asing. Hal ini sudah jelas apa yang akan terjadi pada orang jawa, mereka akan hancur, karena sudah tidak mempunyai akar histories, dan juga akan menjadi consumeris yang selalu dikondisikan oleh pihak yang berkepentingan didalamnya (baca : Timur Tengah dan Barat). Mungkin disinilah konsep pribumisasi-nya Gus Dur dan konsep Tajdidu at Turast- nya Hasan hanafi mendapatkan tempat dan perannya. Konsep kedua tokoh ini membahas dan memberikan metode pemahaman baru terhadap kita dalam memahami dan menerima hal yang kita anggap baru (budaya atau tradisi). Hal ini diharapkan supaya kita tidak terjerumus dan terjebak pada salah satu dari dua lubang yang sama-sama naifnya, yaitu pada lubang fanatism of tradition, dan/atau pada lubang yang terseret oleh modernisasi (arabisasi dan westernisasi). Lebih jelasnya, inti kedua konsep tersebut ialah sebagaimana adagium yang telah dijadikan pegangan oleh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan terbesar Indonesia, Nahdlotul Oelama meskipun secara praxis belum terlaksana sepenuhnya, adagium tersebut ialah Al Muhafadzotu Min Qodimi as Sholih wal Akhdu bil Jadidi al Aslah, artinya menjaga tradisi lama yang masih baik dan menerima/mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Selain itu, karena adanya ekspansi budaya asing dan ketidakmampuan orang jawa dalam mem-filter nya, sebab-musabab hilangnya tradisi dan kebudayaan jawa ialah karena bergesernya orientasi paradigma orang jawa dalam memandang dunianya. Yang awalnya paradigma orang jawa, sebagimana karakter budaya dan tradisi jawa, berpangkal pada paradigma yang berorientasi pada monisme dualistic, yakni meyakini domain batiniyah dan lahiriyah yang menyatu dalam kesatuan yang seimbang yaitu Tuhan, berubah menjadi paradigma yang berorentasi pada monisme materialistic yang mendasarkan semuanya pada hitungan materi sebagaimana karakter budaya Barat. Paradigma yang terakhir ini ialah kurang menghiraukan pada yang namanya nilai, dan sifatnya cenderung individualistic. Maka dari itu jangan heran kalau orang jawa dewasa ini banyak yang tidak menghiraukan saudaranya yang sedang menahan sakit karena kelaparan atau menangis karena terjepit oleh perekonomiannya.

Dari beberapa ulasan diatas maka bias diartikan bahwa, orang jawa dewasa ini sudah lemah dalam SDM-nya, terutama pada domain spitual-nya (baca : nilai-nilai tradisinya), dan juga sudah mengalami pergeseran paradigma. Orang jawa dewasa ini lebih suka menjadi budak dari dari orang ketiga (Timur Tengah dan Barat) dari pada menjadi raja di rumahnya sendiri (baca : berdiri dan berkembang di atas tradisi dan budayanya sendiri). Maka dari itu jangan heran kalau saja Negara kita ini sulit keluar dari multi-krisis dan juga menjadi mainan Negara dunia pertama..!

Selain itu maksud penulisan artikel pada kesempatan kali ini ialah, menunjukkan pada kita bahwa :

1. Dewasa ini nilai-nilai adiluhung yang telah ditorehkan oleh nenek moyang kita telah mulai memasuki atau bahkan sudah memasuki liang lahatnya,

2. Mengingatkan kita pada bahaya yang telah mengintai dan menjajah tradisi dan kebudayaan kita, yaitu arabisasi dan westernisasi (Timur Tengah dan Barat).

3. Kita harus pandai-pandai mem-filter tradisi dan budaya asing yang datang pada kita. Dan,

Maka dari itu kita yang nota bene-nya sebagai calon seorang pendidik sekaligus penerus bangsa pada masa depan, harus berusaha menghalau tantangan inidan juga harus mengembalikan nilai-nilai adiluhung kita yang telah mulai pudar dari jiwa masyarakat kita, entah bagaimanapun caranya, sebab ini adalah tugas yang harus kita emban.

Mampu dan sanggupkah kita ?

Aly Masyhar, 10 Nov 07.