Sabtu, 14 Juli 2007

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN PASCA ORDE BARU

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak dinyatakan merdeka pada tahun 1945, negara Indonesia banyak mengalami perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Mungkin ideologi pancasila yang tidak berubah walaupun mengalami goncangan dan pancasila merupakan ideologi terbuka sehingga ideologi besar dunia seperti sosialisme dan kapitalisme dapat menancapkan akar pada negara yang secara teritorial berada pada wilayah sabang sampai merauke. Tumbangnya rezim orde lama (pemilu yang memenangkan Soeharto menjadi Presiden RI yang kedua), maka sejarah rezim orde baru mulai menghantui masyarakat Indonesia. Developmentalisme (ideologi pembangunan) yang dikembangkan oleh Soeharto hanya berorientasi pada infra struktur (fisik) negara, sedangkan pembangunan manusia seutuhnya yang dinyatakan sebagai tujuan pembangunan nasional hanya terdapat dalam tulisan yang sama sekali tidak direalisasikan. Bukannya membangun manusia, tetapi menjadikan manusia Indonesia seperti robot sebagai alat menyukseskan program pemerintah tanpa kritik maupun saran atau meskipun ada yang mengkritik atau beroposisi terhadap pemerintah, maka mereka akan tinggal menjadi kenangan karena pasti akan diasingkan, dipenjara bahkan dibunuh dengan mengatasnamakan merusak stabilitas nasional.

Pembangunan infra struktur juga merambah ke dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pembangunan terhadap lembaga pendidikan seperti jamur di musim hujan, dalam artian adanya SD Inpres (Sekolah Dasar hasil Intruksi Presiden) pasti akan ditemukan dalam pelosok desa, terutama di luar Pulau Jawa. Pembangunan fisik di bidang pendidikan tidak diimbangi dengan sistem pendidikan nasional yang menjadikan anak didik menjadi kreatif, kritis dan dapat membaca perubahan masyarakat sehingga lulusannya pasti akan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Sistem pendidikan nasional ditentukan dan diarahkan hanya untuk kepentingan ideologisasi terhadap status quo dan menjadikan lulusan sebagai pelayan atau buruh terhadap kapitalis perusahaan maupun birokrasi atau bahkan hanya dijadikan alat komersial dan kepetingan bisnis para pemilik modal, padahal sesuai dengan UUD 45 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelanggaraan pendidikan nasional”1.

Hal ini jelas membangkitkan gairah, harapan dan optimisme dari lingkungan bidang pendidikan. Gairah, harapan dan optimisme tersebut wajar karena mengingat selama 32 tahun di bawah rezim orde baru, kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan selalu menindas dan tidak membebaskan?, Kebijakan pemerintah yang menimbulkan gairah, harapan dan optimisme masyarakat tersebut ternyata berbicara lain dalam prakteknya. Sistem pendidikan yang ada malah justru memunculkan kerancuan terhadap orientasi pendidikan dan maraknya komersialisasi di bidang pendidikan., baik itu berupa kerja sama antara penerbit buku dengan pemerintah, atau kerja sama antara penjual kain seragam dengan pemerintah., disinilah sangat tampak ciri-ciri dan paradigma rezim orde baru yang penuh komersil. Sementara disisi lain, sistem yang sangat rumit dan penuh rekayasa hampir di semua tingkatan kantor banyak ditemukan, tentang kurikulum misalnya, apa yang akan di lakukan oleh sebuah propinsi misalnya, harus mengacu pada juklak yang telah ditetapkan pusat, padahal kebutuhan masing-masing daerah dalam penentuan kurikulum sudah jelas berbeda, disinilah ketimpangan dalam kurikulum pendidikan rezim orde baru kita temukan, bahwa mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik tidak mencerminkan kebutuhan suatu daerah dimana ia berada.

Dengan hancurnya rezim orde baru pada tahun 1997, maka Indonesia mengalami masa reformasi yang katanya sebagai proses menuju demokrasi. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia dibungkam terhadap realitas yang hegemonik dan dominatif. Sistem pemerintahan otoritarian birokratik (OB) sudah menjadi kenangan dan sejarah bangsa yang harus direfleksikan. Hal ini ditandai dengan sejumlah agenda besar bangsa terhadap zaman reformasi. Sejumlah agenda reformasi juga menyentuh bidang pendidikan yang selama zaman orde baru dijadikan media atau instrumen untuk menundukkan kesadaran masyarakat agar ‎‎“sendiko dawuh” terhadap penguasa. Reformasi pendidikan pasca orde baru dideklarasikan oleh forum rektor yang lahir pada 7 November 1998 di Bandung.2 dengan harapan bisa merubah wajah dunia pendidikan indonesia yang sentralistik menjadi demokratis dan populis.

Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan adalah bagian inti dari kedaulatan dan harga diri bangsa, hal ini karena melalui pendidikan pembentukan karakter dan identitas seorang warga negara tumbuh dan berkembang. Hari ini memang menjadi anak emas dari program pemerintah, terlepas dari prakteknya yang amburadul dan sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) karena masih lemahnya manajemen dan pengawasan dari program tersebut serta masih banyaknya manusia-manusia serakah yang mengitari agenda tersebut.

Zaman dimana sekolah murah tampaknya memang sudah usai dan tinggal kenangan. Dunia pendidikan adalah lingkaran yang berisi aktor-aktor yang mengalami perubahan sosial besar. Perubahan terbentuk dari tatanan global yang juga sedang mengalami transformasi raksasa. Semenjak komunisme diruntuhkan, maka ide sosialisme menjadi basi dan kuno. Dunia harus sujud pada gagasan demokrasi liberal yang kini menguasai semua arena kehidupan sosial, termasuk di dalamnya di wilayah pendidikan. Menjadikan lembaga pendidikan sebagai komoditas atau lahan untuk bisnis memang sudah menjadi rahasia umum.

Tanpa kita sadari, sekolah telah terjebak dalam arus kapitalisasi dengan anaknya yang bernama komersialisasi pendidikan. Dampak yang jelas yaitu menimpa pada anak orang-orang miskin yang sulit mendapatkan akses pendidikan yang lebih bermutu. Sekolah kemudian menerapkan aturan main seperti pasar yang ujung-ujungnya berimplikasi pada visiologis pendidikan yang salah. Keberhasilan pendidikan hanya didasari pada besarnya jumlah lulusan sekolah yang dapat diserap oleh sektor industri. Pendidikan semacam ini tidak untuk menjadikan manusia-manusia melek sosial, padahal seharusnya tujuan pendidikan untuk mengembangkan intelektual yang ada pada siswa.

Dalam bukunya Eko Prasetyo diceritakan tentang keluhan tentang SPP seorang ibu rumah tangga yang berkata: “setiap sekolah membuat aturan-aturan sendiri-sendiri untuk mendapatkan uang dari para siswanya. Anak saya tahun ini saja sudah menghabiskan sekitar dua juta hanya buat sumbangan-sumbangan yang tidak jelas untuk apa. Padahal waktu pendaftaran kemarin kami sudah diminta sejuta lebih buat uang bangku” 3. Jargon pendidikan murah hanya ada dalam wacana dan tulisan, dalam prakteknya biaya sekolah semakin mahal. Katanya SPP dihapus tetapi tetap membayar sumbangan BP3, substansinya sama yaitu membayar memakai rupiah. Anehnya justru bersamaan dengan diperkenalkannya konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dewan pendidikan maupun komite sekolah, semua pungutan menjadi sah apabila sudah mendapat persetujuan dari komite sekolah. Akhirnya, Perubahan nama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ‎‎(Depdikbud) menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan perubahan nama yang terdapat pada wilayah pendidikan dasar dan menengah juga seperti SLTP menjadi SMP, SMU menjadi SMA. Di Indonesia terdapat sekitar 21.000 SLTP dan 9000 SMU (tidak termasuk MTS dan MA). Bila perubahan ganti nama sekolah tersebut masing-masing memerlukan biaya sekitar 2 juta (untuk membuat papan nama, stempel, amplop dab kertas kop sekolah), maka diperlukan biaya 60 milyar. Suatu jumlah yang cukup untuk merehabilitasi 1.000 gedung SD yang terancam roboh.4 Orang kemudian bertanya-tanya, kalau memang tidak ada perubahan mendasar kenapa harus ganti nama?. Inilah sekolah kita, dalam pembiayaan membingungkan dan tidak transparan. Komersialisasi pendidikan masih banyak bentuk dan motifnya.

Berdasarkan sekelumit pemaparan latar belakang di atas, maka penulis merasa perlu adanya pengkajian ulang atau kritik terhadap realitas yang ada dalam dunia pendidikan dan oknum-oknum yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu, Saya mengangkat judul ‎‎“KOMERSIALISASI PENDIDIKAN PASCA ORDE BARU”. Harapan Saya dengan mengupas lebih dalam terhadap dunia pendidikan akan menjadikan bahan berfikir ulang bagaimana kita dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan. Memang dunia pendidikan merupakan suatu sistem yang satu dengan yang lainnya saling terkait, tetapi persoalan komersialisasi pendidikan serta bentuknya telah meresahkan masyarakat dan perlu digagas solusi cerdasnya.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Komersiaslisasi Pendidikan Pasca orde baru?

2. Bagaimana bentuk komersialisasi pendidikan pasca orde baru?

C. Tujuan Penelitian

Menilik pernyataan yang tertuang dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pendidikan pasca orde baru.

2. untuk mengetahui bentuk komersialisasi pendidikan pasca orde baru

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan, baik bersifat umum, atau bersifat khusus.

1. Secara Umum

a. Sebagai bahan refleksi bagi masyarakat khususnya bagi dunia pendidikan.

b. Sebagai pegangan, masukan baik para pemimpin dan pejabat terutama yang ada kaitannya dengan lembaga pendidikan.

c. Sebagai bahan kajian bagi para kritikus pendidikan.

d. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dan realitas pendidikan di Indonesia.

2. Secara Khusus

a. Sebagai bahan pengetahuan dan menambah perbendaharaan wacana bagi penulis. Sekaligus menambah inventarisasi dalam penyusunan karya ilmiah.

b. Sebagai pemenuhan tugas akademik dalam menyelesaikan gelar Sarjana Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri.

E. Metode Penelitian dan Sumber Data

1. Jenis pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata atau lisan dari sumber data yang diamati pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara utuh.5 Jenis pendekatan ini mempunyai arah dan fungsi menemukan Teori baik secara subyektif maupun secara formalistik, yang kesemuanya berasal dari data.6 Penelitian deskriptif dilakukan untuk menetapkan sifat suatu situasi pada waktu penyelidikan itu dilakukan, karena tujuan penelitian ini adalah untuk melukiskan variabel atau kondisi dalam suatu situasi.7 Situasi yang dimaksud adalah dunia pendidikan pasca orde baru, terutama pada fenomena komersialisasi yang dipraktekkan dalam pendidikan.

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana diperoleh. Sementara sumber data yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini meliputi sumber data primer (pokok) dan sekunder.

Data primer ialah data yang diterima langsung dari tangan pertama.8 Adapun sumber data primer berasal dari buku karya Eko Prasetyo yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah yang diterbitkan oleh RESIST BOOK Yogyakarta.

Data sekunder adalah informasi yang diperoleh dari tangan kedua. Sumber data sekunder berasal dari majalah, surat kabar, jurnal pemikiran serta internet yang berhubungan dengan komersialisasi pendidikan pasca orde baru dan juga sebagai pembanding dari referensi sumber pokok.

3. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data-data dibutuhkan dalam keperluan penelitian. Dilihat dari tehniknya, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data dengan metode dokumentasi. Menurut Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan lain-lain.9

Prosedur yang sistematis dan standart untuk memperoleh data yang diperlukan untuk itu harus selalu ada hubungan antara metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan.10 Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah library research (riset kepustakaan) yakni mengumpulkan data dari buku yang berkaitan dan relevan dengan penelitian yang akan penulis lakukan, serta artikel-artikel yang terdapat di majalah dan berbagai macam karya ilmiah lainnya yang terkait dengan masalah komersialisasi pendidikan.

4. Metode Analisa Data

Analisa data menurut patton, adalah proses mengatur urutan data mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan besar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan antara dimensi-dimensi uraian. 11

Setelah data tersebut terkumpul maka kemudian dianalisa untuk dijadikan konklusi. Adapun metode yang digunakan penulis untuk menganalisa data adalah:

a. Metode Induktif

Metode Induktif adalah cara berfikir untuk memberikan alasan yang dimulai dengan pernyataan yang bersifat spesifik untuk menyusun argumentasi yang bersifat umum.12 Metode ini digunakan dengan alasan bahwa proses metode induktif lebih dapat menemukan kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data. Metode ini juga memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analisa.13

b. Metode Komparatif

Metode komparatif adalah suatu metode yang membandingkan pendapat yang ada, kemudian disimpulkan berbentuk konklusi.14

F. Defenisi Istilah

Agar tidak terjadi kerancuan dalam pemahaman dan menghindari pemaknaan ganda, maka perlu diberikan penegasan akan maksud dari judul yang dikemukakan penulis.

Adapun yang dimaksud penulis dengan skripsi yang berjudul KOMERSIALISASI PENDIDIKAN PASCA ORDE BARU sebagai berikut:

Komersialisasi : penerapan saistem mencari untung.15

Pendidikan : wahana; sebagai alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan ketrampilan, alat mengasah otak.16

Pasca : setelah; sesudah.17

Orde Baru : secara bahasa orde berarti tatanan; susunan; aturan; angkatan, sedangkan secara istilah adalah suatu tatanan pemerintahan setelah orde lama; zaman pemerintahan ketika Soeharto menjadi Presiden; pemerintahan Soeharto antara 1972 sampai 1997.

Jadi definisi operasional yang dimaksud adalah lembaga pendidikan dijadikan sebagai suatu sistem untuk kepentingan mencari keuntungan yang mana hal ini akan dikaji setelah rezim orde baru atau zaman reformasi yang terdapat beberapa agenda reformasi dalam dunia pendidikan..

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih menjaga keutuhan dan memudahkan dalam penulisan, dan sebagai upaya agar skripsi ini dapat terarah secara sistematis, maka penulis menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah; rumusan masalah; tujuan penelitian; kegunaan penelitian; metode penelitian; definisi istilah; sistematika penulisan.

BAB II : Pendidikan Indonesia Pasca Orde Baru yang terdiri dari agenda reformasi pendidikan; kebijakan pemerintah tentang sistem pendidikan di Indonesia.

BAB III : Problematika anggaran pendidikan di Indonesia Pasca Orde Baru yang terdiri dari signifikansi anggaran, penyaluran anggaran, pengawasan anggaran dikotomi penyaluran anggaran pendidikan di Indonesia.

BAB IV : Analisis data yang terdiri dari komersialisasi pendidikan, kapitalisme pendidikan, dimana orang yang tidak mampu bersekolah dan sekolah sudah berubah menjadi pasar.

BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan; kritik dan saran-saran.

BAB II

PENDIDIKAN PASCA ORDE BARU

Jatuhnya rezim orde baru merupakan tahap awal dalam membangun sistem pendidikan yang demokratis, sejak 22 mei 1998 paradigma pendidikan nasional bergeser kearah demokrasi yang berimplikasi terhadap reformasi pendidikan. Pada awal reformasi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dipercayakan kepada Juwono Sudarsono pada bulan Mei 1998 sampai Oktober 1999, pada masa-masa awal reformasi Juwono Sudarsono seakan-akan menjanjikan perubahan dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, seperti revisi buku sejarah nasional dan kurikulum, tidak ada keharusan bagi murid untuk membeli pakaian seragam dan buku baru, menghapus kewajiban murid untuk melihat film G30S/ PKI (seperti yang diwajibkan oleh Orde Baru), menawarkan konsep manajemen berbasis sekolah, pemberian beasiswa bagi yang tidak mampu melalui program JPS, dan beberapa kebijakan penting lainnya.

Kebijakan Juwono Sudarsono kemudian dilanjutkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Yahya A. Muhaimin (November 1999-Juli 2001). Bahkan , Yahya A. Muhaimin kemudian membentuk Komisi Pendidikan Nasional untuk memberi masukan bagi pembaruan pendidikan dan Komite Reformasi Pendidikan (KRP) untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang dinilai sangat sentralistik.‎ ‎ Pidato para pejabat DPN (Departemen Pendidikan Nasional) juga terasa sangat indah, seperti memberikan otonomi bagi sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dan memberikan peran masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan yang diwadahi dalam dewan pendidikan dan komite sekolah.

Mencermati Menteri pemerintah tersebut, masyarakat menjadi berharap penuh bahwa pasca reformasi wajah pendidikan nasional akan terlihat lebih baik, dalam arti, lebih otonom secara politis, terjangkau secara ekonomis, adil secara sosial, toleran dan pluralis secara budaya, mencerdaskan dan tidak menindas. Tapi apakah janji dari pejabat di DPN itu sungguh terealisasi di masyarakat, atau sekedar lips service saja? Ataukah agenda reformasi tersebut malah memunculkan masalah. Jawabannya tentu saja dapat dilacak di lapangan, yang mana saat ini terdapat empat agenda reformasi pendidikan setelah jatuhnya rezim Orde Baru, keempat agenda tersebut adalah MBS ‎‎(Manajemen Berbasis Sekolah), Sentralisasi Evaluasi, Desentralisasi Kurikulum, dan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi).

A. MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)

Di era otonomi daerah dan desentralisasi, dunia pendidikan mengalami perubahan paradigma, pada paradigma Menteri Orde Baru semua serba tersentral dan terstandarisasi, sekarang masing-masing lembaga pendidikan lebih diberi kekuasaan secara otonom dalam mengelola pendidikan, karena itu maka diperkenalkanlah konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) ditengah-tengah kita, diketahui bahwa pengelolaan pendidikan dengan MBS adalah suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan dalam peningkatan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan, sehingga dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat, serta menjalin kerja sama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. Jadi secara substantif MBS diperkenalkan ke masyarakat dengan tujuan agar sekolah lebih mandiri dalam mengelola sumber daya, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Bagi masyarakat awam, indikator perubahan dalam bidang pendidikan itu sebetulnya sederhana saja, yaitu mencari sekolah makin mudah, biaya sekolah makin murah, tidak banyak pungutan, tidak ganti-ganti buku tiap semester yang akhirnya membebani ekonomi mereka, dan setelah sekolah bisa menjadi pintar dan dapat bekerja. Tapi apa yang mereka harapkan hanya ilusi, karena memang tidak pernah terealisasi dalam hidup, rakyat kecil malah justru heran karena mereka merasakan bahwa pungutan biaya sekolah itu makin beragam jenis dan makin banyak jumlahnya, jargon pendidikan gratis tidak pernah dirasakan oleh mereka, hanya istilahnya saja yang berubah, dari yang semula bernama SPP menjadi sumbangan untuk BP3, secara prinsip masyarakat sama-sama membayar memakai rupiah.

Yang membuat lebih ironis lagi adalah, bahwa meningkatnya pungutan-pungutan yang banyak tersebut justru bersamaan diperkenalkannya konsep MBS, yang kemudian muncul lagi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) tentang MBS sangat membelalakkan mata kita, program MBS ternyata malah justru memunculkan efek negatif, yaitu semakin mahalnya biaya sekolah, riset yang dilakukan ICW menghasilkan lima temuan. Pertama, implementasi MBS masih Top-Down; kedua, kebijakan MBS masih belum dipahami oleh guru maupun masyarakat; ketiga, biaya sekolah masih mahal; keempat, APBS (Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) yang tidak partisipatif; dan kelima, korupsi di sekolah yang kian merajalela.

1. Kebijakan MBS masih Top-Down

Kebijakan MBS yang masih Top-Down ini dapat dilihat dari kebijakan –kebijakan sekolah yang menafikan peran masyarakat dan guru dalam setiap keputusan, baik menyangkut pembiayaan sekolah maupun kurikulumnya, sehingga masyarakat dan guru hanya berfungsi sebagai pelaksana, tidak berfungsi sebagai pengambil kebijakan, selain itu dalam pelaksanaannya Komite Sekolah hanya dijadikan sebagai pengumpul uang dari masyarakat, dan bahkan lembaga ini menjadi alat legitimasi untuk kenaikan biaya sekolah, setiap ajaran tahun baru sekolah, orang tua siswa dikumpulkan untuk menyepakati biaya sekolah, dan memang Komite Sekolah mengundang orangtua siswa, tapi hanya dalam rangka memberikan informasi tentang biaya sekolah, tidak untuk bermusyawarah, sehingga yang terjadi dalam kebijakan tersebut adalah sistem Top-Down, artinya kebijakan tersebut datang bukan dari masyarakat, tapi dari sekolah, masyarakat tidak bisa berbuat banyak karena memang jajaran pengurus Komite Sekolah selalu didominasi oleh orang dekat kepala sekolah.

Pihak guru sendiri menganggap bahwa karena Komite Sekolah dibentuk oleh sekolah terutama oleh kepala sekolah, maka menyebabkan institusi ini tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pemberi pertimbangan maupun kontrol terhadap sekolah, Komite Sekolah yang memiliki posisi sejajar dengan kepala sekolah malah justru takut memberi saran apalagi kritik kepada kepala sekolah.

2. Konsep MBS Masih Belum Dipahami

Sejak dijadikan sebagai kebijakan nasional pada tahun 2000, pemerintah mengaku melakukan sosialisasi secara massif baik kepada sekolah maupun masyarakat, bahkan di stasiun televisi juga ditayangkan iklan layanan masyarakat mengenai MBS, dengan sosialisasi tersebut diharapkan konsep tersebut dapat dipahami masyarakat secara luas dan pihak-pihak yang selama ini mengelola sekolah. Akan tetapi model sosialisasi yang ditetapkan pemerintah ternyata tidak berhasil, iklan layanan ditayangkan televisi misalnya, malah justru tidak menjelaskan konsep MBS, tapi hanya menyatakan ada MBS, sehingga asumsi yang terjadi adalah, masyarakat berperan dalam pembiayaan sekolah, seperti menyumbang dana dan membiayai gedung yang rusak.‎ ‎ Sosialisasi yang kurang akhirnya menyebabkan konsep MBS sangat sulit diterapkan di sekolah, padahal kesuksesan MBS terletak pada pemahaman Stakeholder (orang tua siswa, masyarakat, guru, bahkan LSM).

3. Mahalnya Biaya Sekolah

Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1994 tentang wajib belajar pendidikan dasar, pemerintah membuat terobosan besar dalam sejarah pendidikan Indonesia, yakni mewajibkan masyarakat sekolah minimal hingga tingkat SLTP. Konsekuensi kebijakan yang dikenal dengan istilah wajib belajar sembilan tahun ini pemerintah menanggung semua biaya dalam penyelenggaraan sekolah. Akan tetapi setelah sekian lama dicanangkan, bukannya gratis, biaya sekolah malah semakin membumbung tinggi, biaya SPP yang dihapus diganti dengan berbagai jenis pungutan baru, bahkan ada jenis biaya aneh seperti pensiun guru atau kenang-kenangan.

Temuan ICW yang menanyakan kepada responden apakah di sekolah ada sejumlah dana potongan yang dibebankan kepada orang tua murid. Hasilnya menunjukkan paling tidak ada 17 dana potongan yang ditemukan di Sekolah Dasar, seperti biaya ujian, bangunan sekolah, seragam olah raga, buku paket, wisata belajar ‎‎(study toyr), kegiatan ekstrakurikuler, daftar ulang, rapor siswa, OSIS, UKS, perpustakaan, perayaan hari raya besar, dana taktis sekolah, gaji guru honorer hingga mutasi kepala sekolah.‎ ‎ Banyaknya biaya yang dibebankan kepada orang tua murid ini menunjukkan bahwa pendidikan gratis masih impian.

Sekolah memang tidak diharamkan menarik dana dari orang tua murid sesuai dengan kebutuhan, tetapi pemotongan tersebut mestinya dilakukan secara transparan melalui Komite Sekolah dan dilakukan secara terbuka dengan pihak orang tua siswa, akan tetapi yang terjadi justru pemutusan biaya tersebut tidak melibatkan orang tua murid melalui diskusi secara transparan.

4. APBS Yang Tidak Partisipatif

Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) merupakan patokan bagi sekolah untuk menentukan sumber-sumber pendapatan dan belanja. Secara umum sumber pendapatan sekolah berasal dari subsidi pemerintah dan sumbangan masyarakat, sedangkan menurut Dedi Supriadi, biaya pendidikan berasal dari tiga sumber yaitu pemerintah (termasuk dari hibah dan pinjaman luar negeri), keluarga siswa, dan masyarakat (selain keluarga siswa),‎ ‎ logikanya, masyarakat baru bisa diminta apabila subsidi dari pemerintah tidak mencukupi. Itu sebabnya, dalam penentuan APBS, terutama penarikan dana dari orang tua siswa harus melibatkan banyak pihak, terutama dari masyarakat yang terwadahi dalam Komite Sekolah, sehingga dapat diketahui secara bersama apa yang harus dibiayai pemerintah dan apa yang masih belum tertutupi, termasuk jumlahnya berapa. Akan tetapi proses seperti itu tidak pernah terjadi di sekolah, karena dari pembuatan hingga pelaksanaan, kepala sekolah sangat mendominasi, dalam penentuan pungutan misalnya, baik jenis maupun besarnya sudah ditentukan sekolah, orang tua siswa tinggal menerima, rapat tahunan orang tua siswa dengan sekolah tidak lebih dari sosialisasi yang diiringi tawar menawar jumlah pungutan.

Sekolah tidak pernah mengumumkan berapa besar subsidi yang diterima sekolah dari pemerintah dan dialokasikan untuk apa saja, biasanya yang dibicarakan adalah daftar kekurangan yang mesti ditanggung masyarakat, sehingga sulit diketahui apakah benar sekolah kekurangan dana atau tidak. Bahkan di internal sekolah pun tidak semuanya mengetahui APBS, hanya kepala sekolah dan orang kepercayaannya yang merencanakan dan mengelola anggaran, sedangkan guru ataupun Komite Sekolah tidak dilibatkan,‎ ‎ ini tentunya kontradiktif dengan konsep MBS yang mengandung pengertian sebagai manajemen yang didalamnya melibatkan Dewan Pendidikan sebagai sarana pertimbangan dan Komite Sekolah sebagai patner penyusunan rencana dan program sekolah, rencana penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) dan pelaksanaan program pendidikan.

B. Desentralisasi Kurikulum Setengah Hati

Reformasi kurikulum yang lebih demokratis seperti yang dijanjikan oleh pemerintah sampai sekarang juga tidak pernah terjadi, praktis sampai sekarang tidak ada perubahan secara substansial dalam bidang kurikulum, contoh paling kongkrit dapat dilihat tentang materi Kurikulum Muatan Lokal (Mulok), kurikulum yang seharusnya mencerminkan potensi lokal sekolah itu malah justru tersentralisasi di tingkat provinsi. Kasus yang terjadi di kepulauan seribu misalnya, ketika para guru SD berinisiatif mengganti materi kurikulum Mulok, yang sebelumnya diisi materi PLKJ (Pengetahuan Lingkungan Kota Jakarta) dengan pendidikan yang terkait dengan lingkungan perairan, tetap ada resistensi dari tingkat birokrasi, birokrasi selalu mengatakan bahwa Kepulauan Seribu adalah bagian integral dari Kota Jakarta, oleh karena itu penggantian materi kurikulum Mulok itu tidak diperbolehkan,‎ ‎ ‎padahal kalau dilihat dari faktor budaya, satu provinsi saja masih terjadi perbedaan yang cukup signifikan, belum lagi soal bahasa dan juga sisi sosiologisnya.

Sentralisasi di tingkat provinsi harus dihilangkan, di tingkat daerah pun tidak boleh ada, desentralisasi harus di tiap sekolah, bukan di provinsi, kalau desentralisasi masih di provinsi maka yang terjadi adalah disintegrasi terhadap tingkat lokalitas, maka tidak heran kalau materi Mulok biasanya selalu pelajaran bahasa, di Jawa Tengah misalnya, muatan lokal diisi dengan bahasa jawa, tidak pernah muatan lokal diisi dengan ketrampilan yang berdasarkan pada kondisi geografis sekolah, misalnya sekolah yang berada di lingkungan pertanian, maka materi muatan lokalnya adalah bagaimana siswa mengenal berbagai macam jenis padi, dan bagaimana cara menangani hama wereng dan sebagainya.

Secara konseptual, Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) itu bagus, karena menurut para perancangnya, hal itu dimaksudkan untuk mengakomodasi potensi-potensi lokal yang ada di sekitar sekolah guna menghindarkan murid tercerabut dari akar-akar lingkungan geografis, ekonomis, sosial dan budaya, tapi lagi-lagi dalam prakteknya ternyata Kurikulum Muatan Lokal menjadi tersentral di tingkat provinsi. Artinya pelajaran Muatan Lokal di sekolah satu dengan lainnya dalam satu provinsi itu sama, yang membedakan hanya provinsi satu dengan provinsi lain. Itu pun tidak semuanya, sebagai contoh, antara Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY yang memiliki basis budaya jawa, pelajaran muatan lokalnya sama, yaitu Bahasa Jawa dan Kesenian Jawa. Demikian juga dengan semua sekolah yang berada di wilayah administratif Provinsi Jawa Barat Muatan Lokalnya sama yaitu, Bahasa Sunda dan Kesenian Sunda. Mata pelajaran semacam itu jelas tidak terlalu bermanfaat bagi para pelajar yang tinggal di wilayah Bekasi, Depok, dan Tangerang yang alam pergaulan mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan sebagian bahasa campuran (Jawa, Sunda, Batak, Madura, dan lain-lain), karena mayoritas mereka adalah pendatang yang tidak memiliki latar belakang budaya Sunda.

Dengan kata lain, materi Bahasa dan Budaya Sunda itu hanya menghabis-habiskan waktu dan energi saja, sama halnya dengan murid-murid di Kepulauan Seribu yang harus belajar tentang Pengetahuan Lingkungan Hidup Kota Jakarta (PLKJ), hanya karena mereka berada di wilayah asministratif Provinsi DKI Jakarta. Padahal secara geografis, ekonomis, sosial dan budaya mereka berada dalam kehidupan yang amat berbeda, yaitu dunia perairan, sehingga pengetahuan yang harus mereka kenal dan kembangkan pun mestinya dunia perairan dengan segala dimensi kehidupannya. Kurikulum harus bersifat fleksibel dan elastis, sehingga terbuka kesempatan untuk memberikan bahan pelajaran yang penting dan perlu bagi anak didik di tempat tertentu,

Pihak Depdiknas selalu menyatakan kurikulum yang demokratis dengan mempersilahkan kepada sekolah untuk menambah materi Mulok sesuai dengan kondisi sekolah tapi dengan catatan tidak boleh mengurangi Mulok yang dirancang di Provinsi, jadi sebetulnya desentralisasi yang dirancang oleh Depdiknas adalah desentralisasi setengah hati, logikanya adalah pemerintah mengharuskan mata pelajaran wajib, kemudian provinsi juga menambah materi pelajaran melalui Mulok, ditambah lagi kalau Dinas Kabupatennya kreatif menambah Mulok, kemudian sekolah juga menambah Mulok, maka pertanyaannya sekarang berapa materi Mulok yang ada di tiap sekolah. Kebijakan seperti ini sebetulnya keliru, karena akan memunculkan mata pelajaran yang tidak relevan seperti kasus yang terjadi di daerah Jabodetabek diatas, disamping itu juga akan muncul lagi masalah terlalu banyaknya jam pelajaran yang harus dipaksakan kepada siswa.

Penelitian yang dilakukan oleh Kompas menyatakan bahwa dalam setahun jam pelajaran anak SD hingga SMA ternyata lebih dari 1.000 jam per tahun, angka ini adalah angka terlama di dunia, padahal jumlah jam di beberapa negara umumnya hanya sekitar 900-960 per jam.‎ ‎ Jumlah jam yang terlalu banyak tersebut tentunya memangkas keceriaan anak didik, karena itu agar lebih efisien lebih baik materi mulok tersebut diserahkan sepenuhnya saja kepada setiap sekolah, dan sekolah diberi ruang yang luas untuk menjalankan transformasi pengetahuannya, seperti diungkapkan oleh Paulo Friere bahwa sekolah memainkan peranan yang vital sebagai alar kontrol sosial yang efisien dan bahwa pendidikan adalah proses adaptasi siswa dengan lingkungannya.‎ ‎ Hal senada disampaikan juga oleh andrias harefa bahwa akar permasalahan dari sistem pendidikan di negeri ini adalah karena sekolah telah dipisahkan dari lingkungannya.

C. Sentralisasi Evaluasi

1. Kebijakan Yang Salah

Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang sudah lama dikeluhkan oleh masyarakat, untuk tingkat SD memang dihapuskan, tapi untuk tingkat SMP-SMA hanya ganti baju menjadi UAN (Ujian Akhir Nasional), substansinya masih sama, yaitu sistem evaluasi akhir nasional, bahkan untuk tahun 2006 ini, syarat siswa dinyatakan lulus harus memenuhi standard nilai kelulusan minimal 4,26. Menurut pemerintah, hal tersebut dilakukan dalam rangka memajukan kualitas pendidikan di Indonesia, oleh karena itu yang menentukan kelulusannya adalah pemerintah. Menurut hemat penulis, disini terjadi pemahaman dangkal yang dilakukan oleh pemerintah, kenapa untuk memajukan kualitas pendidikan harus menggunakan standard kelulusan nasional? Sementara di berbagai daerah, banyak sekolah yang belum memenuhi standard pelayanan minimum, mulai dari ruang kelas, guru yang tidak merata antara di desa dan kota, sampai pada fasilitas pembelajaran yang tidak representatif, seperti alat peraga, laboratorium dan pengadaan buku.

Menurut Susi Fitri, Dosen UNJ (Universitas Negeri Jakarta), dan juga penggiat Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), menilai bahwa menjadikan UN ‎‎(Ujian Nasional) sebagai alat penentu kelulusan adalah salah karena masih adanya perbedaan fasilitas pembelajaran, di wilayah perkotaan dan sekitarnya saja ditemukan banyak sekolah yang tingkat kualitas dan pelayanannya belum memadai,‎ ‎ sehingga apakah adil jika pemerintah mematok skala kelulusan berskala nasional, sementara proses pembelajaran di tiap sekolah belum berstandard nasional.‎ ‎ Pemerintah selalu menyatakan bahwa UN diadakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, dengan alasan seperti itu maka menurut penulis sebetulnya pemerintah tak jauh berbeda dengan tengkulak, artinya pemerintah hanya ingin menuai hasil tanpa memperdulikan proses, seharusnya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak harus melalui UN, tapi dengan proses pendidikannya, yaitu dengan melakukan standardisasi di seluruh sekolah di Indonesia, mulai dari pembagian guru secara proporsional, alat peraga, laboratorium yang memadai, dan sebagainya,

Menurut Suryanto, tugas pemerintah seharusnya menciptakan kondisi dan sistem pendidikan yang efektif, diantaranya adalah melakukan pemerataan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan, karena dibanyak daerah, sarana dan prasarana pendidikan sangat memprihatinkan, kurangnya tenaga pengajar di pedalaman, gedung sekolah yang tak layak pakai, kualitas guru yang jauh dari standard minimal, merupakan pekerjaan besar yang harus diprioritaskan dan dituntaskan.‎ ‎ ‎

Selain tidak adil dalam standard minimal pembelajaran, kebijakan UN juga malah memunculkan ketidakadilan baru, yaitu merebaknya tim sukses sekolah yang cukup menggemparkan dunia pendidikan di Indonesia, seperti diketahui bahwa pada waktu pelaksanaan ujian, setiap sekolah membuat tim sukses untuk meluluskan siswa sekolahnya 100%, dan seringkali membuat penulis tertawa ketika melihat spanduk di jalan-jalan yang mempromosikan sekolahnya dengan label “100% lulus UN”, penulis kemudian berfikir, pendidikan kok seperti produk makanan yang katanya “100% halal”.

2. UN Memangkas Kreatifitas Siswa.

Salah satu kekeliruan dalam pendidikan di Indonesia adalah logika bahwa mendidik itu menghafal, ketika Gutenberg menemukan mesin cetak, pengetahuan dicetak menjadi buku, dan kemudian buku tersebut dihafal oleh siswa, Ujian menjadi sederhana, yaitu sarana untuk menilai hafalan yang telah ditulis dalam buku pelajaran, anak yang tidak hafal, dan tidak mencapai nilai minimal 4,26 dinyatakan tidak lulus, ini berarti anak tersebut gagal dalam pendidikannya. Untuk memperoleh hasil ujian sesuai standard, ada usaha instan, yaitu ikut Bimbimgan Belajar (Bimbel), tapi realitanya bimbingan test, seperti yang dilakukan oleh Farian, seorang siswa kelas III Jurusan Penjualan SMK Negeri 19 Jakarta Pusat. Sejak tujuh bulan lalu Farian mengikuti Bimbingan Belajar di sebuah lembaga swasta di luar sekolah dengan total biaya di atas Rp. 1 juta.‎ ‎ Jelas ini memangkas kreatifitas siswa, siswa yang seharusnya belajar dengan ceria, mengenal lingkungannya, kreatif dan senang, malah terbebani dengan UN. Melalui UN, sistem penilaian afektif dan psikomotorik diabaikan oleh pemerintah

Konsekuensi dari sistem evaluasi yang sentralistik ini kemudian berimbas pada tersesatnya sistem pembelajaran, proses pembelajaran terfokus pada pembahasan soal dan menghafal, setiap hari siswa dicekoki dengan latihan-latihan soal, keberhasilan siswa ditentukan oleh yang namanya NEM, padahal survey membuktikan ada sedikit korelasi antara kesuksesan anak dalam ujian dengan kesuksesan hidup setelah dewasa. Artinya sukses dalam UN tidak menjamin bahwa yang bersangkutan akan sukses juga dalam kehidupannya di masyarakat.‎ ‎ ‎

3. Kebijakan UN Masih Kontradiktif

PP (Peraturan Pemerintah) No. 19 Tahun 2005 yang dijadikan sebagai landasan UN ternyata bertentangan dengan UU (Undang-undang) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 63 ayat (1) huruf b dan c bertentangan dengan pasal 58 Ayat (1) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Pasal 63 Ayat (1) berbunyi: “penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (a) penilaian hasil belajar oleh pendidik; (b) Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan (c) penilaian hasil belajar oleh pemerintah”.‎ ‎ Ini bertentangan dengan UU Sisdiknas Pasal 58 Ayat (1) yang berbunyi: “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.‎ ‎ Ini memang ketidaktahuan pemerintah, ataukah kesengajaan pemerintah, pemerintah sendiri yang bikin undang-undang Sisdiknas, dan juga pemerintah sendiri yang buat Peraturan Pemerintahnya, Padahal sangat jelas bahwa yang berhak menguji siswa adalah gurunya sendiri, seperti yang tertera dalam UU Sisdiknas diatas.

Kalau diaplikasikan secara teoritis sebetulnya dalam proses pendidikan terdapat tiga hal dalam kegiatan pembelajaran, yakni membuat perencanaan, melaksanakan pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil belajar, di era otonomi pendidikan sekarang ini, guru membuat sendiri rencana pembelajarannya dan oleh karena itu maka guru adalah orang yang paling tahu kondisi murid-muridnya, dan seharusnya guru juga yang melakukan evaluasi hasil belajarnya,‎ ‎ kalau pemerintah memaksakan untuk menyelenggarakan UN mak jelas sekali akan terjadi ketidakselarasan, penghapusan UN Ini tentunya sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi dalam dunia pendidikan yang meniscayakan peran penuh sekolah dalam proses pendidikan. Padahal kalau dirunut dari belakang, sebetulnya UN tersebut adalah warisan Orde Baru, tepatnya di era Kurikulum 1984 bersamaan dengan dikembangkannya CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).

Pemerintah harus konsekuen dengan kebijakannya, karena itu UN harus dihapuskan, karena jelas bahwa Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 yang dijadikan sebagai landasan UN bertentangan dengan Undang-undang (UU) Sisdiknas, dan dapat disebut sebagai pelanggaran Undang-undang dengan mengacu pada Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa:

Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur;

7. Peraturan Daerah.‎ ‎ ‎

memaksakan pemberlakuan UN melalui Peraturan Pemerintah adalah pelanggaran terhadap Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 4 Ayat ‎‎(1) yang menyatakan bahwa: “Sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”.‎ ‎ Ini artinya Peraturan Pemerintah (PP) No. ‎‎19 Tahun 2005 yang dijadikan sebagai landasan UN tidak sah karena melanggar Undang-undang yang secara urutan perundang-undangan lebih tinggi.

Secara praksis, ujian itu adalah evaluasi untuk melihat kemampuan siswa dalam memperoleh pelajaran yang telah diberikan, sedangkan pelajaran yang diberikan diseluruh Indonesia masih kontraproduktif, di satu sisi, banyak sekolah yang gurunya tidak representatif atau kurang pengalaman, sedangkan di sisi yang lain gurunya lebih berpengalaman, ini artinya, pemberlakuan UN untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah salah, yang benar adalah UN tersebut hanya digunakan sebagai perangkat untuk mendiskripsikan mutu pendidikan di Indonesia, jadi pemerintah tidak berhak untuk menentukan lulus tidaknya seorang siswa, yang berhak untuk menentukan kualitas individu siswa adalah guru, karena guru yang mengetahui dan melaksanakan proses pembelajarannya.

D. KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)

1. KBK: “Agama” Baru dalam Pendidikan Nasional

Berbicara tentang reformasi pendidikan seakan hampa kalau tidak menyebut kata KBK, KBK telah menjadi wacana tersendiri yang menyedot perhatian semua orang yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan, mulai dari pejabat tingkat pusat, dinas, kepala sekolah, guru, pengurus yayasan, murid, dan orang tua murid, KBK telah menjadi idola setiap praktisi pendidikan. Orang merasa kurang afdhol bila tidak mengucapkan KBK setiap kali membicarakan masalah pendidikan, sama persis dengan pejabat Orde Baru yang merasa berdosa atau kurang lengkap bila tidak menyebut “GBHN, Pancasila, dan UUD 1945” dalam setiap pidato atau berbicara di depan publik.

Kehebatan konsep KBK sendiri masih memerlukan waktu untuk pengujiannya, apakah KBK bebar-benar dapat dijadikan sebagai mantra ampuh untuk mengobati pendidikan yang sedang sakit, ataukah akan mengalami nasib seperti konsep-konsep pendidikan lainnya, seperti masa pendidikan Humaniora (masa menteri pendidikan Nugroho Notosusanto) dan pendidikan sistem ganda (link and match) pada masa menteri Wardiman Djojonegoro. Keduanya bertahan hanya selama yang melontarkan konsepnya menjabat sebagai menteri pendidikan, dan kemudian tenggelam tertelan oleh perjalanan sang waktu bersamaan dengan lengsernya kekuasaan.

2. Kontroversi Interpretasi KBK.

Penulis setuju dengan rumusan mengenai kompetensi yang diartikan sebagai kemampuan dasar (ability), kurikulum berbasis kompetensi berarti berbasis kemampuan dasar siswa, KBK, yang muncul setelah kurikulum 1994 (link and match) sesuai dengan namanya menekankan pada kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik dalam setiap bidang studi atau mata kuliah pada tiap jenjang pendidikan,‎ ‎ sedangkan menurut Sutrisno KBK adalah suatu rencana dan pengaturan mengenai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang harus dipelajari, dikuasai, dilaksanakan, dan juga dapat diukur dan diamati.

Sebelum memasuki diskusi lebih lanjut, penulis tertarik untuk mendiskusikan kembali kritik J. Drost, secara kritis J. Drost mempertanyakan kompetensi siapa, kompetensi guru ataukah kompetensi murid, kalau KBK di orientasikan untuk murid dalam menguasai kompetensi belajar setiap mata pelajaran apakah bisa, sedangkan di setiap kelas kemampuan murid saling berbeda, hal tersebut sangat bertolak belakang jikalau dibandingkan dengan negara-negara lain, di Jerman misalnya, disana terdapat sekolah gymnasium untuk anak-anak pintar dan cerdas juga ada sekolah realschule untuk anak biasa, di Inggris, Singapura dan Malaysia ada high school tujuh tahun untuk anak pintar dan ada high school lima tahun untuk anak biasa, sedangkan di Indonesia dengan kondisi kelas atau sekolah yang campur antara pintar cerdas dan biasa tapi dipaksakan untuk menguasai kompetensi dasar bidang studi, maka jelas ini tidak fair.

Selain itu, mencari kompetensi dasar dalam satuan pendidikan juga masih kontroversial, kalau sekolah SMK sudah jelas, mereka harus kompeten dalam bidangnya, tapi SMU menghasilkan kompetensi apa? Apalagi SD dan SLTP? ‎ ‎Berbagai macam kelemahan muncul dalam konsep KBK ini, kelemahan-kelemahan tersebut lagi-lagi terjadi karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang pendidikan tidak berdasarkan pengkajian yang serius.

3. Meluruskan Makna KBK

Kalau memang para pejabat di lingkungan Departemen Pendidikan dan Dinas Pendidikan tetap konsisten akan memakai konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), konsekuensinya perlu ada review secara mendasar terhadap kelemahan-kelemahan KBK selama ini. Bila titik pijaknya adalah “basis”, maka implementasinya harus berpijak pada realitas empiris, bukan idealitas, artinya bahwa kurikulum tersebut mestinya dikembangkan dengan berdasarkan pada basis empiris dari masing-masing lingkungan sekolah. Sekolah-sekolah yang berada di daerah pesisir misalnya, cocok mengembangkan basis kompetensi dalam bidang kelautan atau pesisir, sebaliknya sekolah-sekolah yang berada di daerah agraris patut mengembangkan basis kompetensi yang berkaitan dengan dunia pertanian, karena memang itulah potensi dasar yang dimiliki oleh murid dan harus dikembangkan oleh sekolah.

Bila murid-murid di daerah pesisir atau agraris tiba-tiba diharapkan memiliki kompetensi dasar dalam bidang industri, komputer atau untuk memenuhi tuntutan globalisasi, maka itu sebetulnya sama dengan mencerabut mereka dari akar-akar lingkungan geografis, ekonomis, sosial, dan budaya mereka. Akibatnya setelah lulus mereka tidak memiliki kompetensi untuk mengembangkan diri pribadi maupun lingkungan daerahnya, tapi justru menjadi kaum migran di kota-kota besar dengan harapan dapat pekerjaan dari industri-industri besar elektronika.‎ ‎ Jadi untuk mempertemukan nilai-nilai lokal dengan globalisasi adalah dalam aplikasinya, yang penting tradisi tersebut tidak hilang dengan datangnya globalisasi, caranya adalah dengan mensinergikan tradisi dengan globalisasi, artinya tetap ada ruang untuk globalisasi tetapi jangan sampai mencerabut akar tradisi sekolah.

Untuk menjalankan proyek semacam itu bisa dilakukan dengan bermacam-macam langkah, diantaranya adalah dengan mengoptimalkan kurikulum muatan lokal diatas, tidak semuanya kurikulum tersebut harus dari akar tradisi sekolahnya, tapi selain itu juga dimasukkan kurikulum yang sifatnya universal, misalnya sekolah yang ada di wilayah kelautan, tetap saja sekolah tersebut diadakan kurikulum yang sifatnya universal untuk kebutuhan nasional seperti bahasa inggris dan komputer, tapi jangan dilupakan bahwa akar tradisi tersebut jangan sampai dihilangkan.

BAB III

PROBLEMATIKA ANGGARAN PENDIDIKAN SEBAGAI BAGIAN DARI BENTUK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN PASCA ORDE BARU

A. Signifikansi Anggaran

Pendidikan dan anggaran adalah persoalan yang cukup memunculkan perdebatan paradigmatik, ketika negeri ini mencoba memprioritaskan pendidikan sebagai tonggak terpenting dalam mengikuti arus globalisasi maka kita akan mengeluhkan tentang kecilnya anggaran untuk pendidikan, keluhan tentang kecilnya anggaran itu seakan meniadakan unsur lain yang cukup signifikan memberikan kontribusi besar terhadap buruknya sistem pendidikan nasional, seperti lemahnya kemampuan manajerial dalam bidang keuangan yang sehingga menimbulkan inefisiensi cukup besar; mentalitas korup di lembaga yang mengurusi pendidikan; hegemoni partai politik atau penguasa sampai pada persoalan distribusi yang tidak proporsional dan representatif, besar kecilnya anggaran memang penting, tapi lebih dari itu adalah format manajerial dalam pengsaluran anggaran dalam pendidikan.

Perhatian pemerintah terhadap upaya peningkatan pendidikan dapat dilihat dari keseriusannya memasukkan nominal anggaran dalam amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 4, hasil amandemen itu menyebutkan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyalenggaraan pendidikan nasional”.‎ ‎ Salur anggaran 20% untuk pendidikan juga tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 49 ayat 1 yang menyebutkan “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan disalurkan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).‎ ‎ Tapi ternyata dalam perkembangan selanjutnya anggaran untuk pendidikan tidak pernah sampai 20% baik dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, ini membuktikan tidak adanya loyalitas pemerintah terhadap dunia pendidikan.

Pada tahun 2006 penyaluran dana untuk biaya Pendidikan hanya 9,1% dari APBN. Belum lagi dengan yang terjadi di daerah, penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayat menyatakan bahwa rata-rata daerah mengsalurkan anggaran untuk sektor pendidikan hanya berkisar 4,15% dari APBD.‎ ‎ Ini adalah fakta yang telah terjadi, penulis tidak bangga dengan dimasukkannya anggaran pendidikan 20% dari APBN maupun APBD dalam konstitusi negara karena yang terjadi adalah bahwa negara sendiri mengkhianati konstitusi yang telah dibuatnya. Karena itu tuntutan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) perlu ditelaah, mereka menuntut pemerintah untuk mengsalurkan anggarannya 20% dari APBN, kalau hanya 9,1% maka pemerintah telah menyalahi konstitusinya sendiri,‎ ‎ oleh karena itu maka pemerintah harus komitmen untuk total mengucurkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN.

Sebetulnya sudah ada skenario yang dilakukan oleh pemerintah untuk menuju anggaran 20% tersebut, dimana anggaran akan terpenuhi pada tahun 2009, dengan asumsi tahun 2004 salur Rp 16,8 triliun (6,6% dari APBN); tahun 2005 Rp 24,9 triliun (9,3%); tahun 2006 Rp 33,8 triliun (12,0%); tahun 2007 Rp 43,4 triliun ‎‎(14,7%); tahun 2008 Rp 54,0 triliun (17,4%) dan tahun 2009 Rp 65,5 triliun ‎‎(20,1%).‎ ‎ Skenario tersebut bisa terlaksana atau hanya janji-janji pemerintah saja, di tahun 2006 ini saja salurnya tidak sampai 12% dari APBN, tapi hanya 9,1%, berarti jelas sekali bahwa pemerintah tidak konsisten.

Pemerintah yang dalam hal ini dimotori oleh lembaga eksekutif harus tegas, lembaga eksekutif ini adalah presiden beserta kabinetnya, kalau jelas-jelas pemerintah melanggar konstitusi yang telah disepakati bersama, maka legislatif yang merepresentasikan rakyat juga harus tegas, kalau perlu legislatif menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah karena legislatif berfungsi sebagai pengawas pemerintah, bahkan kalau perlu legislatif menyatakan Memorandum, dan kalau pemerintah masih tidak merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, maka legislatif harus berani mengadakan Sidang Istimewa (SI). Inilah impian penulis yang menurut penulis sendiri semoga terealisasi.

Apakah betul pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup untuk menyalurkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN? Ataukah pemerintah yang memang tidak memprioritaskan pendidikan sebagai tonggak kemajuan sebuah bangsa? Indonesia adalah satu-satunya negara yang dalam konstitusinya (UUD 1945) memasukkan kata “mencerdaskan kehidupan bangsa”,‎ ‎ tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya, pendidikan di negeri ini justru terabaikan, pemerintah lebih suka mengsalurkan dana untuk restrukturisasi bank swasta,‎ ‎ padahal menurut penulis sendiri, restrukturisasi itu sama saja nomboki bank-bank yang bangkrut agar tetap beroperasi, hanya bahasanya saja yang diperhalus. Sama saja dengan istilah ‎‎“kenaikan” harga, diganti dengan “penyesuaian” harga, tapi intinya adalah harga-harga naik.

Sektor pendidikan harus dijadikan sebagai sesuatu yang harus diperhitungkan oleh negara. Ada sebuah cerita menarik tentang perhatian negara terhadap sektor pendidikan yang dapat dijadikan sebagai sebuah perenungan.

Dalam cerita tersebut dijelaskan:

Ketika pesawat Amerika Serikat menghujani Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom, Kaisar Jepang, Hirodhito, tiarap di lantai. Konon tidak lama kemudian ia berdiri tegak. Kalimat pertama yang diucapkan dengan penuh emosi adalah, “berapa guru yang masih hidup? Kita akan segera bangkit lagi dan menjadi bangsa terhormat di muka bumi”.

Di cerita lain disebutkan:

Sewaktu tentara NAZI memporakporandakan Eropa, termasuk Inggris, pada tahun 1942, Perdana Menteri Winston Churchill dipanggil parlemen. Ia diajak membahas penambahan anggaran militer untuk biaya perang. Anggota parlemen minta agar anggaran pendidikan dikurangi dan dialihkan ke anggaran militer untuk membuat bom, amunisi dan pesawat tempur. Mendengar desakan parlemen, Winston Churchill berdiri di mimbar dan mengangkat telunjuk tangannya sambil berkata, “Tuan-Tuan yang terhormat, apakah Tuan-Tuan lupa bahwa Tuan-Tuan duduk di dalam ruangan ini karena pendidikan”.

Cerita di atas menunjukkan kepada kita betapa pentingnya faktor pendidikan bagi kemajuan negara. Kesalahan fatal pemerintah adalah tidak mau menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama, sampai saat ini pun pemerintah masih berargumen bahwa kalau anggaran pendidikan dipaksakan 20% dari APBN maka akan memangkas anggaran untuk departemen lain. Dari sini membuktikan bahwa negara tidak mempunyai visi yang jelas untuk memajukan negeri ini, padahal kunci untuk mencapai sebuah kemajuan sudah sangat jelas, yakni penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang semula miskin dan tidak diperhitungkan kini menjadi bangsa yang maju, karena selama puluhan tahun konsisten menginvestasikan sumber-sumber yang mereka miliki untuk mencerdaskan warganya melalui pendidikan dan dengan tekun mengejar ketertinggalan dengan ilmu dan teknologi.

Sekarang ini yang harus dilakukan pemerintah adalah menjalankan amanat undang-undang, bahwa undang-undang mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, karena itu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang tidak melaksanakan amanat tersebut berarti telah melakukan pelanggaran undang-undang, dan buat pelanggar undang-undang konsekuensinya harus jelas juga, yaitu harus turun dari jabatannya.

B. Penyaluran Anggaran

Penyaluran subsidi ke satuan-satuan pendidikan (sekolah) dapat berupa uang yang jelas peruntukannya (earmarked allocation), dana tambahan berbentuk hibah ‎‎(block grant), atau juga bisa berupa tenaga dan barang (inkind allocation) seperti guru atau tenaga kependidikan, buku-buku pelajaran, ataupun perlengkapan sekolah.‎ ‎ Di era sentralisasi dulu subsidi pendidikan berasal dari APBN, sedangkan di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota, anggaran untuk sektor pendidikan sebagian berasal dari dana yang diturunkan oleh pemerintah pusat ditambah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), jadi memang pada waktu itu sebagian besar (bahkan hampir semua) dana pendidikan yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota berasal dari pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah hanya mengelola dan menyalurkannya, hanya sebagian kecil (kurang dari 1%) dana pendidikan di daerah yang berasal dari anggaran daerah.

Pada era otonomi daerah sekarang, keadaan tersebut sesungguhnya masih belum banyak mengalami perubahan. Sebagian besar dana dalam RAPBD provinsi dan kabupaten atau kota diperoleh dari pusat yang disalurkan dalam bentuk paket yang disebut dengan Dana Salur Umum (DAU), dan untuk sebagian lagi ditambah dengan Dana Salur Khusus (DAK). Perbedaannya hanya terletak pada tanggung jawab pengsalurannya yang diserahkan sepenuhnya kepada daerah, namun terdapat pengecualian. Daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang dikuasai oleh negara (misalnya berupa hasil tambang atau industri berskala nasional) mendapatkan bagian dalam proporsi tertentu dari keuntungan yang diperoleh dengan mengacu kepada UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Persoalan paling urgen dalam anggaran adalah mekanisme salurnya, kalau anggaran sudah besar tanpa di buat sistem salur yang baik maka yang terjadi malah justru memunculkan inefisiensi anggaran dan juga sudah menjadi rahasia umum kalau kemudian rawan untuk praktek korupsi oleh elit di lingkungan pejabat. Persoalan inefisiensi anggaran tampak pada kasus yang terjadi digunung kidul misalnya, dua SLTPN di drop alat musik organ, padahal sekolah tersebut belum dialiri listrik, dan banyak disekolah-sekolah lain dikirim komputer padahal sudah punya komputer banyak, sehingga alat tersebut nganggur tidak terpakai,‎ ‎ lain daerah lain juga kebutuhannya bahkan beda sekolah pun beda juga tingkat kebutuhannya, oleh karena itu jangan sampai terjadi sentralisasi di daerah, satu daerah saja kebutuhannya bisa berbeda dari segi geografi, sosial, ekonomi maupun budayanya, sebagai contoh sekolah sama-sama berada di wilayah Kalimantan Timur, ketika dilihat dari tingkat kebutuhannya jelas berbeda-beda, mungkin sekolah yang ada di Tenggarong membutuhkan beasiswa, tapi sekolah yang ada di Balikpapan tidak memerlukannya karena memang tingkat ekonomi masyarakatnya kecukupan.‎ ‎ ‎

Rendahnya anggaran untuk sektor pendidikan diperlemah dengan sistem salurnya yeng masih terpusat, pengelolaan anggaran secara terpusat telah mengakibatkan pengelolaan sumberdaya sangat tidak efisien, karena rendahnya kepercayaan kepada sekolah selama ini, pemerintah pusat sering mengasumsikan berbagai alat, bahan dan input pendidikan lainnya yang dibutuhkan sekolah harus diadakan oleh pusat lalu dikirimkan ke sekolah, sayangnya asumsi tersebut seringkali keliru, sehingga penggunaan sumberdaya yang sangat terbatas itu menjadi sangat rendah dan mendekati mubadzir.‎ ‎ karena itu agar sistem pengsaluran anggaran bisa tepat sasaran dan tidak memboroskan anggaran, maka dalam membuat rencana kerja, DPN (Departemen Pendidikan Nasional) perlu mengembangkan suatu model perencanaan yang lebih partisipatif dan melibatkan berbagai pihak (Multistake Holders), model perencanaan yang pertisipatif berarti melibatkan sekolah-sekolah, artinya untuk mengetahui kebutuhan sekolah maka sekolah melaporkan ke tingkat kabupaten dan diteruskan sampai tingkat pusat, atau dengan sistem Bottom Up, bukan Top Down, dan kemudian pusat melakukan checking kebawah.‎ ‎ ‎

Tentu saja DPN (Dinas Pendidikan Nasional) tidak mungkin melakukan identifikasi secara detil kepada setiap sekolah di seluruh Indonesia, oleh karena itu prinsip otonomi daerah perlu ditingkatkan melalui pemerintah daerah. Masing-masing pemerintah daerah dapat memfasilitasi proses Need Assessment, sekaligus perencanaan kepada sekolah-sekolah di wilayahnya, yang pelaksanaannya dibagi berdasarkan kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya masing-masing, sehingga melalui pemerintah daerah maka kebutuhan tiap sekolah bisa diidentifikasi.

Selain harus tepat sasaran, anggaran pendidikan harus tepat guna, menurut Sudijarto, ketua umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), anggaran pendidikan tersebut harus disalurkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang benar-benar dibutuhkan, bukan hanya untuk membuat bermacam-macam proyek atau membangun gedung-gedung, sudijarto menyatakan bahwa anggaran tersebut untuk pendidikan SD secara gratis, termasuk penyediaan buku pelajaran, buku tulis murid, buku perpustakaan dan buku pegangan untuk guru.‎ ‎ Pendapat tersebut cukup rasional mengingat selama ini memang berbagai macam paket bantuan untuk pendidikan acapkali disalurkan untuk membangun berbagai macam infrastruktur, seperti bangunan dan fasilitas-fasilitas lain agar kelihatan megah.

Pihak sekolah sendiri pun kebanyakan memprioritaskan pembangunan gedung daripada sektor-sektor yang lain, mereka menganggap bahwa sekolah yang bonafid adalah sekolah yang bangunan gedungnya megah, bertingkat-tingkat, punya berbagai macam fasilitas seperti lapangan basket, lapangan sepak bola dan fasilitas-fasilitas lain. Ini harus segera disterilisasi, kualitas pendidikan tidak hanya dilihat dari aspek infrasruktur, ada yang lebih penting dari itu dan lebih menunjang dalam keberhasilan pendidikan, yaitu buku pelajaran dan buku-buku yang lain, karena itu bantuan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus selektif dan tepat guna.

Sedangkan untuk kasus anggaran yang rawan korupsi tampak seperti yang terjadi sekarang ini dalam bantuan untuk sekolah yang bernama BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bagi siswa SD sampai SMP dan BKM (Bantuan Khusus Murid) untuk SMA/MA/SMK yang dalam mekanismenya melalui kantor pos di setiap daerah. Inilah yang kemudian memunculkan kemungkinan terjadinya kontak personal antara kepala sekolah dengan petugas yang terkait proses penyaluran dana tersebut, adanya kontak semacam ini berujung pada pemberian dana ”terima kasih” kepada petugas.

Ade Irawan, aktifis Indonesia Corruption Watch (ICW), mengungkapkan bahwa modus penyimpangan dana BOS diantaranya adalah terjadinya penyerahan uang “terima kasih” dari kepala sekolah kepada pejabat Dinas Pendidikan kabupatan maupun kota,‎ ‎ salah satu logika yang dipakai oleh para koruptor di negeri ini adalah kalau aturannya baru maka korupsinya pun gaya baru, dulu sewaktu bantuan dana pendidikan masih melewati banyak meja, pola yang dipakai adalah sistem potongan, sehingga ketika sampai di sekolah dana tidak utuh, sekarang memang tidak lagi melewati banyak meja tapi ternyata masih bisa disiasati dengan meminta uang fee atau terimakasih, terutama dari sekolah untuk dinas,‎ ‎ bahkan sekalipun tidak dimintai uang fee, sekolah dengan sukarela memberi uang terimakasih sekaligus investasi agar sekolahnya bisa terus dipertimbangkan menerima dana proyek atau dana lainnya.‎ ‎ untuk menghindari hal semacam itu maka setiap sekolah harus mempunyai rekening sekolah untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang sudah menjadi budaya di negeri ini.

C. Pengawasan Anggaran

Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan praktek yang sudah membudaya di negeri ini, kalau dulu di era Orde Baru praktek-praktek semacam itu hanya melibatkan pusat, dalam hal ini dialamatkan kepada keluarga cendana, karena memang pada waktu itu otonomi daerah belum digulirkan. Saat ini, dengan disahkannya undang-undang 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah (otonomi daerah) praktek korupsi justru semakin merebak dengan munculnya ‘raja-raja’ kecil di daerah, berbagai macam institusi untuk menanggulangi praktek korupsi pun bermunculan, sekarang ini yang menangani pelaku korupsi tidak hanya kepolisian, tapi ada kejaksaan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara), dan sekarang ini muncul lagi yang terbaru dan terkini bernama Timtastipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), tapi praktek korupsi pun melenggang semakin marak bersamaan dengan maraknya institusi penanganan kasus korupsi, dan masyarakat juga tidak melihat kehebatan institusi-institusi tersebut dalam memberantas praktek korupsi.

Praktek-praktek korupsi memasuki ruang-ruang birokrasi di negeri ini, tidak terkecuali lembaga-lembaga pendidikan maupun birokrasi yang menangani masalah pendidikan, karena itu perlu dilakukan revolusi sistemik untuk mengontrol dan mengawasi anggaran dalam dunia pendidikan. Menurut Teten Masduki, anggota ICW ‎‎(Indonesian Corruption Watch), pengawasan anggaran untuk birokrasi pendidikan harus difokuskan kepada BPK dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), sedangkan pengawasan anggaran pendidikan di tingkat sekolah bisa dilakukan dengan mengefektifkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang dalam hal ini diperankan oleh Komite Sekolah.‎ ‎ Saat ini pemahaman masyarakat terhadap keberadaan Komite Sekolah masih sangat minim, mayoritas masyarakat masih belum mengerti secara detil peran Komite Sekolah, karena itu sosialisasi terhadap masyarakat perlu digalakkan kembali.

D. Dikotomisasi Penyaluran Anggaran Dalam Dualisme Pendidikan

1. Antara Pendidikan dibawah Depag dan Depdiknas

Pendidikan di Indonesia menganut sistem dualisme di tingkatan birokrasi, dualisme yang dimaksud disini adalah Departemen Agama (Depag) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yang mana dalam sistem anggarannya masih tidak adil sampai sekarang, anggaran untuk sekolah maupun perguruan tinggi yang berada dibawah Depag selalu jauh lebih kecil dari yang dibawah Depdiknas, maka dapat dipastikan kalau sekolah yang berbentuk madrasah selalu kalah dari segi sarana dan prasarananya dengan sekolah-sekolah seperti SMP ataupun SMA,‎ ‎ karena itu, maka yang terjadi adalah madrasah ataupun perguruan tinggi dibawah payung Depag selalu kalah dari segi kualitasnya.

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, madrasah merupakan pemain lama yang masih bertahan, bahkan keberadaannya sudah mengakar dalam masyarakat. Ironisnya, pendidikan yang berbasis agama Islam ini selalu terpinggirkan. Mayoritas madrasah dikelola oleh pribadi atau yayasan, hampir semua madrasah membiayai sendiri dalam pelaksanaan pendidikannya. Bahkan, madrasah yang berbentuk negeri pun masih berbeda bantuannya dengan sekolah negeri umum, meski berstatus sama-sama negeri, namun besarannya berbeda. Sekolah umum bisa mendapatkan bantuan berkali-kali lipat.‎ ‎ Sebagai contoh, ditahun 1996 unit cost anggaran pemerintah untuk IAIN sebesar 800.000 per anak setiap tahun, sedangkan untuk UI, UGM atau ITB sebesar Rp. 1.500.000 sampai 2.000.000 per anak setiap tahun. Untuk madrasah aliyah hanya sebesar Rp. 4.000 per anak setiap tahun, sedangkan SMA sebesar Rp. ‎‎333.000 per anak setiap tahun, madrasah tsanawiyah sebesar Rp. 6.000 per anak setiap tahun sedangkan SMPN sebesar Rp. 245.000 per anak setiap tahun.

Dengan komposisi anggaran seperti itu, dapat ditegaskan bahwa pemerintah ternyata masih memberikan perhatian yang tidak seimbang antara kedua lembaga pendidikan tersebut, maka dari itu sangat logis bila kemudian mutu lembaga pendidikan dibawah Depag selalu kalah dibanding dengan pendidikan yang dibawah Depdiknas, karena itu, maka pemerintah harus segera menghapus dikotomi anggaran dalam dua lembaga ini, karena pada dasarnya baik madrasah maupun sekolah dibawah Depdiknas adalah sama berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri pada tahun 1975, hasil dari SKB tersebut berisi tiga poin penting, yaitu:

1. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.

2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.

3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.‎ ‎ ‎

Melihat sekelumit persoalan diatas, maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak bersikap adil dalam pengsaluran anggaran untuk pendidikan, dalam artian, antara SD-MI, SMP-MTS, SMA-MA, PTU-PTAI harus sama rata dalam pendanaannya, jadi yang perlu dihitung adalah unit cost per siswa, dan unit cost itu harus sama antara sekolah dengan madrasah.

2. Antara Negeri dengan Swasta

Diskriminasi juga terjadi pada sekolah swasta, sekolah negeri selalu diperhatikan sedangkan sekolah swasta, selain didirikan oleh masyarakat, sekolah tersebut juga menggali dana sendiri dari masyarakat. Seharusnya pemerintah berterima kasih kepada masyarakat yang mau untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta, karena berarti masyarakat juga turut mensukseskan program pemerintah, yaitu mencerdaskan bangsa, tidak seperti sekarang ini, sekolah swasta selalu didiskriminasikan dalam memperoleh bantuan pendidikan,‎ ‎ bahkan Pemerintah Daerah pun juga tidak pernah melibatkan sekolah swasta untuk memperoleh bantuan pendidikan yang diambil dari APBD, maka yang terjadi adalah sekolah swasta selalu kalah dari segi kualitasnya dengan sekolah-sekolah negeri.

Selain Undang-Undang Sisdiknas, yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan pada sekolah dasar dan menengah adalah PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 28 Tahun 1990 dan PP Nomor 29 Tahun 1990.‎ ‎ Peraturan Pemerintah ini mengatur berbagai macam hal, mulai dari syarat mendirikan sekolah sampai pada kurikulum pendidikan. Yang lebih ironis adalah PP inilah yang justru sangat mendiskriminasikan sekolah-sekolah swasta dari segi pembiayaannya, dalam Pasal 9 ayat 4 dinyatakan: “pengadaan dan pendayagunaan tenaga kependidikan, buku pelajaran, peralatan pendidikan, tanah dan gedung beserta pemeliharaannya pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah tanggung jawab yayasan atau badan yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan”.‎ ‎ ‎Ini berbeda dengan sekolah negeri yang pembiayaannya masih dijamin oleh pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah berdasarkan Pasal 9 ayat 1,2 dan 3. hal yang sama juga terjadi pada sekolah menengah swasta, dalam PP Nomor 29 Pasal 13 ayat 2 dinyatakan: “pengadaan, pendayagunaan, dan pengembangan tenaga kependidikan, kurikulum, buku pelajaran, peralatan pendidikan, tanah dan gedung serta pemeliharaannya pada sekolah menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan penyelenggara sekolah menengah yang bersangkutan”.‎ ‎ ‎

Kalau pemerintah ingin ‘mencerdaskan bangsa’, kenapa harus ada pengkotakan dalam anggaran pendidikan, yang implikasinya justru malah memunculkan komersialisasi dalam sekolah swasta, karena jelas sekolah swasta akan menarik biaya dari siswa, akhirnya muncullah yang namanya interpretasi anomali ‎‎(penafsiran menyesatkan) bahwa kalau ingin pintar ya harus sekolah dan kalau sekolah maka harus bayar, sehingga kalau seseorang ingin pintar maka ia harus bayar, disini kemudian pendidikan dijadikan komoditas barang dagangan yang harus dihargai.

Dari sisi yuridis, belum ada undang-undang yang melindungi sekolah swasta dalam pembiayaannya, diskriminasi ini kemudian menjadikan sekolah swasta dalam ketidakpastian, karena ketidakjelasan pemerintah dalam membiayai sektor swasta, yang terjadi selanjutnya adalah sekolah swasta hanya berada dalam posisi pengharapan, yaitu pengharapan untuk mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, maka muncullah yang namanya bantuan seperti BOS dan sebagainya. Apa yang terjadi dengan sekolah swasta seandainya suatu saat nanti negeri ini dipimpin oleh seseorang yang tidak peduli terhadap sektor pendidikan, implikasinya jelas, sekolah swasta akan membiayai dirinya sendiri karena memang tidak adanya perlindungan hukum, dalam hal ini undang-undang. Karena itu undang-undang harus jelas-jelas menyatakan akan membiayai sektor swasta.

BAB IV

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

A. Komersialisasi dan Kapitalisasi Pendidikan di Perguruan Tinggi

Indonesia merupakan negara yang dari segi ekonomi masyarakatnya banyak dari golongan tidak mampu, oleh karena itu dalam persoalan pendidikan pemerintah harus menyusun regulasi dalam upaya melakukan kontrol terhadap makin liarnya komersialisasi dalam pendidikan, sudah menjadi rahasia umum kalau sekolah itu mahal, karena memang tidak ada undang-undang yang mengatur tentang penentuan biaya pendidikan di sekolah maupun di perguruan tinggi, sehinga yang terjadi adalah sekolah dengan biaya mahal menjadi harga mati bagi rakyat miskin.

Komersialisasi terjadi karena negara malas mengambil peran, negara sekarang menghamba kepada demokrasi liberal. Demokrasi liberal ini memiliki sejumlah dogma yang menjadi kepercayaan dasarnya, pertama negara wajib mengadopsi sistem ekonomi liberal, sebuah sistem yang mempertautkan satu negara dengan yang lain berdasar pada aturan perdagangan bebas yang dikomandoi oleh rezim WTO, ekonomi liberal ini telah membuat semua negara dipicu untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang memiliki tujuan perlindungan, aturan kedua adalah melakukan privatisasi terhadap semua sektor publik, pemerintah dilucuti perannya agar tidak melakukan kontrol, tapi membiarkan sektor swasta untuk mengambil alih, dan yang ketiga adalah menempatkan negara sebagai penjamin bagi kelangsungan sistem ekonomi pasar.

Dengan gagasan demokrasi liberal itu kemudian berimplikasi terhadap kapitalisasi dan komersialisasi terhadap semua bentuk layanan publik, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan, tak heran kalau kemudian negara membuat serangkaian aturan hukum yang memberikan kebebasan penuh pada pasar untuk mengelola pendidikan, contohnya adalah membuat kebijakan tentang pengalihan status beberapa universitas dari PTN (Perguruan Tinggi Negeri) menjadi BHMN ‎‎(Badan Hukum Milik Negara) dan memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mendirikan lembaga pendidikan dalam berbagai bentuk. Pengalihan status dari PTN ke BHMN tersebut menurut pemerintah dilatarbelakangi oleh rendahnya output perguruan tinggi negeri dalam merespons pasar global dan rendahnya mutu perguruan tinggi. Gambaran tentang rendahnya mutu perguruan tinggi di Indonesia bisa dilihat dari publikasi internasional pada edisi mei 1997 oleh Asiaweek, majalah berita mingguan Hongkong, yang mengeluarkan daftar mutu PT tingkat Asia, dari 50 PT yang terdaftar, hanya 5 PT dari Indonesia.‎ ‎ ‎

Dalam merespons permasalahan diatas, maka pemerintah membuat suatu kebijakan untuk mengalihkan PT menjadi BHMN yang diwadahi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang penetapan suatu perguruan tinggi menjadi Badan Hukum, dalam artian bahwa perguruan tinggi tersebut bersifat otonom dalam manajemen dan anggarannya, dan juga dapat melakukan reorientasi manajemen dengan paradigma baru dengan sejumlah terobosan dan langkah operasional yang kongkrit, selain itu perguruan tinggi akan mengelola seluruh kekayaan perguruan tinggi secara optimal dan sekaligus membuat rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan PT yang hendak dicapai dalam jangka lima tahun, dan juga menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan PT.‎ ‎

Tapi bagaimana yang terjadi kemudian, kebijakan tersebut malah justru berdampak pada biaya kuliah yang tinggi, karena memang pemerintah melepaskan perannya secara penuh terhadap perguruan tinggi tersebut, sedangkan perguruan tinggi tersebut tidak mampu untuk menggali dana sendiri selain dari mahasiswa,‎ ‎ ‎otonomi sekolah dan kampus yang pada dasarnya dimunculkan dalam rangka upaya menuju desentralisasi pendidikan malah justru berbuah pada mahalnya biaya pendidikan, karena otonomisasi itu lebih mengarah pada kemandirian sekolah atau perguruan tinggi dalam mencari sumber biaya guna memenuhi proses kegiatan belajar mengajar (KBM),‎ ‎ sedangkan otonomi kurikulum malah terkesan kurang diperhatikan. Oleh sebab itu maka otonomisasi harus diluruskan pemaknaannya, karena dalam kenyataannya otonomi pendidikan malah justru melahirkan differensiasi kualitas pendidikan yang mencolok, di wilayah masyarakat kaya pendidikan dapat berkualitas, sedangkan di wilayah miskin pendidikan akan stagnan.

Menurut Eko Prasetyo, seharusnya pemerintah harus menyusun undang-undang tentang biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi seperti yang terjadi di negara-negara lain, seperti di Inggris misalnya, penentuan uang kuliah dilakukan melalui undang-undang yang disepakati oleh parlemen.‎ ‎ Pemerintah jangan melepaskan pembiayaan pendidikan hanya dengan dalih otonomi, seorang ibu akan membiarkan anaknya untuk bermain, melakukan sesuatu sesuai kemauan hatinya, tapi seorang ibu masih membiayai kehidupan anaknya, maka anak tidak boleh bekerja mencari uang. Negara harus belajar dari ibu dan anak, artinya biarlah sekolah dan perguruan tinggi membikin sendiri manajemennya, sistem pembelajarannya, maupun paradigmanya, tapi dalam persoalan pembiayaan, pemerintah harus bertanggung jawab, baik pembiayaan terhadap negeri maupun swasta, seperti yang terjadi pada pendidikan di Singapura misalnya, pembiayaan pendidikan semuanya ditanggung oleh negara tanpa membedakan negeri maupun swasta.‎ ‎ jangan terjadi seperti sekarang ini, otonomisasi berarti perguruan tinggi menggali dananya sendiri, sehingga masyarakat yang menjadi korbannya.

Pendapat Eko Prasetyo yang mengatakan bahwa pemerintah harus menyusun regulasi tentang pembiayaan pendidikan cukup untuk diperhitungkan, jangan sampai pendidikan hanya dijadikan sebagai komoditas politik atau jargon politik untuk melanggengkan status quo atau untuk mencapai kekuasaan, seperti yang dijanjikan oleh Imam Utomo ketika hendak mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Timur dengan jargon pendidikan gratisnya, atau sesaat ketika Drs. Peni Suparto terpilih sebagai Walikota Malang, bahkan lebih dahsyat lagi Peni menjanjikan pendidikan gratis dari SD sampai SMU.‎ ‎ Lagi-lagi semua hanya janji politik yang tidak pernah terealisasi. Karena itu selain pemerintah konsekuen untuk membuat undang-undang tentang biaya maksimum pendidikan yang murah, pemerintah juga harus tetap melakukan kontrol terhadap seluruh lembaga pendidikan di Indonesia, jangan sampai terjadi lagi kasus undang-undang yang hanya berfungsi sebagai ‘hitam diatas putih.

B. Dimana Anak-anak Miskin dan Bodoh Bersekolah

Pertanyaan diatas selalu muncul dalam benak penulis setiap kali terjadi proses penerimaan murid baru, terutama di sekolah-sekolah negeri, baik ketika masih memakai DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni) maupun melalui tes. Pasalnya, dua model penerimaan murid baru itu hanya mengakomodasi tiga kelompok saja, yaitu kelompok anak kaya dan pintar, anak pintar tapi miskin, dan anak bodoh tapi kaya. Kelompok keempat, anak yang miskin sekaligus bodoh, tidak pernah diakomodasi dalam kedua sistem yang ada, sehingga mereka semakin termarjinalisasi.

Peluang terbesar pertama untuk memperoleh akses pendidikan yang baik dimiliki oleh anak kaya dan pintar, karena selain memiliki nilai yang bagus, mereka juga punya kemampuan untuk membayar. Dengan sistem penerimaan seperti sekarang ini, yaitu menggunakan model tes dan wawancara yang memungkinkan negosiasi dalam soal biaya yang harus dibayar, mereka tetap memiliki peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikannya. Peluang terbesar kedua dimiliki oleh anak-anak miskin tapi pintar. Pada waktu penerimaan menggunakan mekanisme DANEM, mereka dapat dengan mudah masuk ke sekolah-sekolah negeri karena NEM mereka cukup tinggi, tapi di sekolah-sekolah swasta faforit peluangnya terbatas karena sekolah tersebut menggunakan sistem seleksi ganda, yaitu DANEM dan tes wawancara, mereka sering gugur dalam tes wawancara, karena tes wawancara itu hanya bentuk kamuflase dari mekanisme menarik biaya yang lebih besar.

Perubahan sistem penerimaan murid baru dari DANEM ke model tes seperti sekarang ini, sedikit menutup peluang bagi kelompok kedua ini di sekolah-sekolah negeri, terlebih sekolah swasta favorit, karena kemampuan membayar uang gedung murid lebih menentukan diterima-tidaknya seseorang sebagai murid baru daripada hasil tes murni yang dicapai oleh calon murid. Peluang terluas ketiga untuk memperoleh akses pendidikan yang baik dimiliki oleh anak-anak yang bodoh tapi orang tuanya kaya. Pada sistem penerimaan murid baru dengan model DANEM, peluang mereka untuk masuk ke sekolah negeri memang terbatas, tapi di sekolah swasta favorit peluang mereka cukup baik, karena tertolong oleh tes wawancara, yang disana terdapat proses tawar menawar soal kesanggupan biaya yang harus dibayarkan.

Peluang paling sempit, atau bahkan dapat dikatakan tertutup adalah bagi anak-anak miskin sekaligus bodoh, satu-satunya peluang yang terbuka bagi mereka adalah di sekolah-sekolah swasta yang tidak bermutu yang secara fisik lokasinya berada di pinggiran kota atau di daerah terpencil. Hal itu disebabkan karena mereka tidak memiliki modal apapun yang diperlukan sebagai syarat untuk masuk ke sekolah yang lebih baik, baik ketika masih menggunakan sistem DANEM maupun setelah menggunakan sistem tes, ketika sistem DANEM digunakan, mereka tidak bisa masuk ke sekolah negeri karena NEM mereka rendah, sedangkan kalau masuk ke sekolah favorit mereka juga harus berfikir ulang, karena selain NEM mereka jelek, mereka juga tidak mempunyai kemampuan untuk membayar dengan nominal yang tinggi. Padahal uang mengambil peran yang signifikan dalam memastikan diterima-tidaknya seseorang,‎ ‎ Jadi satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka adalah sekolah-sekolah pinggiran yang tidak bermutu.

Nasib buruk juga terjadi ketika mekanisme rekrutmen murid baru di sekolah-sekolah negeri maupun swasta menggunakan tes dan wawancara, selain mereka bodoh, mereka juga tidak mempunyai daya tawar yang cukup dari segi finansialnya, sehingga lagi-lagi mereka hanya mampu mengenyam pendidikan yang kualitasnya rendah dan tidak bermutu. Sebetulnya, mereka menjadi miskin dan bodoh bukan semata-mata kesalahan mereka sendiri, tetapi karena struktur sosial yang sejak awal tidak adil, sehingga tidak memberikan ruang kepada kelompok miskin ini untuk melakukan mobilitas horizontal maupun vertikal. Kelompok miskin dan bodoh ini akhirnya terjebak dalam kemiskinan strukturalnya, inilah yang menurut Tilaar disebut dengan darwinisme sosial, dimana yang kuat akan tetap hidup dan yang miskin boleh mati dalam memperoleh akses pendidikan.‎ ‎ Dimanakah letak keadilan pendidikan kita, jika sekolah yang bermutu itu untuk mereka yang punya uang saja.

Pendidikan pada dasarnya adalah membuat manusia lebih berkemanusiaan dan berkeadilan. Menurut Ivan Illich, suatu pendidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, diantaranya adalah, ia harus menyediakan peluang bagi semua orang untuk belajar dan memperoleh pendidikannya.‎ ‎ Tapi ironisnya, pendidikan yang seharusnya menciptakan keadilan malah justru semakin melegitimasi dan bahkan menyuburkan ketidakadilan tersebut, ketidakadilan tersebut kemudian menciptakan siklus kemiskinan sistemik, bahwa yang bodoh dan miskin selamanya akan miskin. Padahal pendidikan harus untuk semua, anak-anak miskin tetap harus memperoleh pendidikan yang bermutu,‎ ‎ karena itu peran negara pun kemudian dipertaruhkan. Negara sebagai institusi pengambil kebijakan harus merekonstruksi ulang aturan-aturan yang mendiskreditkan golongan miskin dan bodoh, bahwa orang miskin dan bodoh itu sebetulnya sama dengan manusia-manusia lainnya, mereka sama-sama ingin pintar dan kaya, dalam artian hidup berkecukupan.

Karena itu komersialisasi harus dihentikan, sekolah harus tidak membeda-bedakan golongan, entah itu golongan miskin-kaya, pintar atau bodoh, semua harus diberi hak untuk memperoleh pendidikannya, sekolah bisa dikatakan berhasil kalau sekolah itu bisa meluluskan siswa-siswa yang tadinya bodoh menjadi pintar. Menurut penulis sendiri sekolah-sekolah favorit atau negeri itu belum dikatakan berhasil, karena sekolah-sekolah tersebut hanya menerima murid-murid pintar saja, artinya dari pintar kemudian dididik menjadi pintar itu wajar, yang luar biasa adalah sekolah yang mendidik murid bodoh kemudian menjadi pintar.

Kebijakan pendidikan nasional yang tidak adil itu jelas perlu dirubah. Negara tidak boleh hanya memfasilitasi kelompok-kelompok mampu saja, tapi semua kelompok masyarakat wajib difasilitasi, konsekuensinya adalah, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan bagi kaum miskin dan bodoh. Caranya, negara memberikan alokasi ruang yang cukup bagi kaum miskin dan bodoh untuk bisa bersekolah di sekolah-sekolah negeri, jangan sampai sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh negara justru dihuni oleh anak kaya dan pintar saja. Karena itu sistem penerimaan siswa baru yang selama ini sangat mendiskriminasikan anak bodoh dan miskin wajib dirubah, bukan berdasarkan tes kepintaran saja, tapi harus mendasarkan pada kemampuan sosial ekonomi calon murid.‎ ‎ Bila kita mengacu pada tugas negara untuk mencerdaskan bangsa, maka wajib bagi pemerintah untuk menerima semua anak yang bodoh dan miskin itu bersekolah di sekolah negeri.

C. Ketika Sekolah Berubah Menjadi Pasar

Di era 1980-an, industri penerbitan, khususnya penerbitan buku-buku pelajaran mulai merambah ke lembaga pendidikan formal, beberapa penerbit buku pelajaran secara progresif masuk ke sekolah-sekolah, dekade 1980-an ini juga ditandai dengan masuknya industri tekstil ke sekolah-sekolah untuk mencukupi kepentingan seragam sekolah, baik untuk seragam nasional (merah putih untuk SD, biru putih untuk SLTP, dan abu-abu putih untuk SMU) maupun untuk seragam khas masing-masing sekolah yang saling berbeda.‎ ‎ yang menjadi persoalan disini adalah keterlibatan sekolah-sekolah dengan pengusaha diatas dengan berorientasi laba pada kedua belah pihak, dengan tujuan memperoleh laba, sekolah mewajibkan muridnya untuk membeli buku pelajaran ataupun seragam di sekolah, praktek seperti ini dilakukan oleh sekolah karena dibalik itu terdapat keuntungan laba bagi pengusaha buku ataupun seragam dengan pihak pengelola sekolah.

Diatas adalah gambaran umum bagaimana sekolah telah menjadi area praktek bisnis yang anehnya sampai sekarang pun masih berjalan lancar. Apa yang terjadi pada praktek pendidikan nasional tersebut sesungguhnya hanya mengikuti mekanisme kerja pasar yang hanya mencari keuntungan, pendidikan bukan lagi sebagai institusi murni pengajaran dan pendidikan, persoalan tersebut dapat dilihat dalam kasus buku pegangan siswa. Agar bisa mengalokasikan bukunya ke sekolah-sekolah, penerbit mesti melobi kepada sekolah. Pada tingkat sekolah mereka menegosiasikan prosentase keuntungan dengan kepala sekolah dan guru, kemudian guru akan mewajibkan siswa membeli buku tersebut, bahkan pada saat pendaftaran siswa baru atau daftar ulang, orang tua siswa sudah diwajibkan membayar buku paket, bahkan seragam yang harganya bisa mencapai dua kali lipat dari harga pasar.

Saat ini, meski sudah ada aturan terhadap pihak sekolah untuk tidak boleh terlibat praktek penjualan buku kepada peserta didik,‎ ‎ namun kenyataannya justru terjadi banyak pelanggaran terhadap aturan tersebut, komersialisasi dalam tubuh sekolah dengan tujuan memperoleh laba sebanyak-banyaknya masih menjadi karakter setiap sekolah, keberadaan Peraturan Menteri pun masih belum perkasa dalam mengatasi komersialisasi tersebut, bahkan setiap sekolah dengan begitu cerdasnya menciptakan strategi baru dalam bekerjasama dengan penerbit untuk tujuan laba. Modus yang pertama sekolah memberikan kebebasan kepada anak untuk membeli buku di pasaran, tapi buku yang direkomendasikan itu ternyata dari penerbit yang tidak dikenal oleh pihak toko buku, bahkan buku tersebut tidak dijual di pasaran, sehingga siswa terpaksa membeli buku di sekolah yang dalam hal ini sekolah sudah melakukan nego dengan penerbit tertentu.

Modus yang kedua adalah, sekolah menjual buku kepada peserta didik melalui koperasi sekolah, bahkan dengan terang-terangan guru menjual langsung dari penerbit tertentu kepada siswanya. Modus yang ketiga sekolah memberi bon atau kuitansi yang didalamnya berisi judul-judul buku untuk berbagai mata pelajaran, bon itu kemudian ditukarkan ke kantor distribusi milik sebuah penerbit kecil.‎ ‎ Tanpa disadari, pola-pola seperti itu telah membawa sekolah dalam wilayah bisnis, sekolah sama dengan pasar yang mempunyai tujuan memperoleh laba.

Ketika mekanisme pasar itu merasuki jiwa sekolah, sekolah pun kemudian menerapkan aturan atau tata tertib yang represif untuk mengeruk laba, seperti yang terjadi pada saat pengambilan buku laporan pribadi anak, sekolah akan membagikan kalender kepada setiap siswa dengan harga sekitar Rp 4.500 dan memberitahukan kepada orang tua siswa bahwa yang berhak menerima laporan pribadi anak hanya orang tua murid yang telah menyelesaikan administrasi sekolah. Bila dicermati secara teliti pemberitahuan itu, maka jelas bahwa mekanisme kerja sekolah jauh lebih menindas dan otoriter daripada mekanisme kerja pasar. Di pasar, orang dapat memilih barang yang ia sukai ataupun menolak barang yang tidak ia sukai, di pasar, khususnya pasar tradisional, orang juga dapat melakukan kasbon, terutama bila antara penjual dan pembeli sudah saling mengenal atau tawar menawar harga. Tapi di sekolah, orang hanya disodori satu pilihan yang terpaksa harus diambil demi aturan sekolah, orang juga tidak dapat melakukan kasbon dengan mengambil raport anak dulu.

Selain itu mekanisme kerja pasar juga membentuk tersesatnya pemahaman tujuan pendidikan di masyarakat yang menganggap bahwa institusi pendidikan itu sama dengan supermarket atau swalayan. Salah satu ukuran keberhasilan swalayan adalah bila banyak pengunjung yang datang dan membeli barang-barang yang dijualnya, sehingga barang tersebut habis, para pengelola dan pemahaman masyarakat pun sama, yaitu banyak orang memasukkan anaknya ke sekolah dengan harapan agar setelah lulus kelak cepat mendapat kerja di sektor industri.‎ ‎ Anomali yang salah ini harus segera diluruskan, selama ini sistem pendidikan nasional kita kini diarahkan kepada kepentingan kapitalisme industri yang menggadaikan pendidikan untuk bekerja di sektor industri untuk kepentingan laba.‎ ‎

Tanpa kita sadari, disini terjadi simplifikasi ukuran keberhasilan pendidikan. Keberhasilan pendidikan hanya didasarkan pada jumlah lulusan sekolah yang dapat diserap oleh sektor industri, kalau seperti itu pemaknaannya, maka pendidikan hanyalah menciptakan robot-robot kapitalisme atau buruh-buruh di perusahaan. Pendidikan bukan lagi sebagai proses pencerdasan anak didik, ini terlihat dari jumlah lulusan di Indonesia yang terdapat sekitar 84,70% berprofesi sebagai pekerja, dan masih sedikit yang punya keahlian untuk mencoba perusahaan sendiri.‎ ‎ Karena itu budaya enterpreneurship (wirausahawan) perlu dihidupkan, hasil pendidikan harus mampu menciptakan bangsa yang kreatif, inovatif dan cerdas, yang tidak hanya bisa menjadi buruh, tapi juga mampu menciptakan alat-alat produksi sendiri tanpa harus mengimpor dari luar.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan paparan data diatas, maka sampailah kiranya pada beberapa konklusi, dari sini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendidikan di Indonesia Pasca orde baru yang dimulai sejak tahun 1998 ternyata belum efektif untuk menciptakan pendidikan yang lebih bermutu dan bervisi keadilan untuk semua golongan. Ini di sebabkan perhatian pemerintah dalam pendidikan sangat kecil sekali, ini juga dipengaruhi oleh realitas politik yang kini dipenuhi oleh para praktisi pendidikan yang masih melihat pendidikan sebagai komoditi bukan sebagai bagian dari kekuatan peradaban. Secara tidak sadar lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia telah terjebak dalam cengkraman kapitalisme. Demokrasi liberal yang di adopsi oleh Negara adikuasa Amerika bahkan telah menyebabkan munculnya ketidak adilan dan ketertindasan bagi rakyat miskin untuk mengakses pendidikannya. Liberalisasi inilah yang justru memunculkan komersialisasi dan kapitalisasi dalam dunia pendidikan.

2. Komersialisasi pendidikan di Indonesia terjadi pada perguruan tinggi, perubahan status perguruan tinggi menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) merupakan embrio dari liberalisasi yang diamini oleh pemerintah, implikasi dari itu adalah perguruan tinggi melakukan proses komersialisasinya dengan ‘seenaknya’ menentukan biaya kuliah, sehingga kuliah mahal menjadi harga mati bagi rakyat miskin tak berdaya, selain itu lembaga pendidikan semacam perguruan tinggi juga telah kehilangan rohnya sebagai media pembaharu atau ladang ilmu yang disebabkan oleh matinya budaya di perguruan tinggi tersebut. Karena itu perlu dilakukan pembagian tugas bagi pemerintah dan masyarakat, peran pemerintah dalam pendidikan harus lebih dipertegas lagi, tugas pemerintah tidak hanya mengeluarkan undang-undang saja tapi lebih dari itu pemerintah harus berpungsi sebagai pengawas yang adil. sedangkan komersialisasi di sekolah terjadi karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga sekolah bermetamorfosis menjadi area pasar dengan tujuan mengeruk laba melalui bisnis buku pelajaran atau seragam sekolah, semangat elitisme sekolah juga dapat dilihat dari sulitnya menjadi pintar bagi anak yang bodoh dan miskin, selama ini mereka tidak diberi ruang untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih bermutu dikarenakan semangat elitisme dan kapitalisme yang menggejala di setiap sekolah dengan mempertimbangkan kekuatan finansial untuk masuk ke sekolah negeri atau favorit melalui test masuk.

B. Saran-saran

Pada bagian akhir ini perlulah kiranya bagi penulis untuk memberikan saran-saran konstruktif kepada senua pihak yang masih perduli terhadap bangsa Indonesia khususnya pendidikan yang menjadi tonggak dari suatu bangsa.

1. Kepada segenap pembaca, khususnya mahasiswa kependidikan, agar supaya mempelajari pendidikan yang berorientasi kepada rakyat miskin yang sampai sampai saat ini dipaksa untuk menikmati ketidakadilan pendidikan.

2. Kepada para pengambil kebijakan yang telah duduk di kursi birokrasi pendidikan, agar selalu memperhatikan nasib kaum marjinal dalam memperoleh akses pendidikan yang baik sebagai haknya.

3. Kepada seluruh aktivis pendidikan, ingatlah bahwa perubahan hanyalah soal waktu, di hadapan kita terdapat jutaan rakyat miskin yang telah terpasung haknya dalam memperoleh akses pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Irawan, “Ulasan Kasus: BOS dan Harapan Sekolah Gratis”, http//www.sampoernafoundation.org/content/view/113/103/lang,id/, diakses tanggal 14 Juli 2006.

Adigunawan, Kamus Praktis Ilmiah Popular, Surabaya: Kartika. 2003

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1998

Anwar , Syaifudin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

“Anggaran Pendidikan”, Kompas, 23 Maret 2006. 1.

Assegaf, Abdurrachman. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta: Kurnia Alam, 2005.

“Benahi Pendidikan Dasar”, Kompas, 5 Juni 2006, 12.

Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusaan. Yogyakarta : LKIS, 2005.

Dawam, Ainurrofiq Emoh Sekolah: Menolak “Komersialisasi Pendidikan” Dan “Kanibalisme Intelektual”, Menuju Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003.

Daulay,Haidar Putra Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.

Furchan, Arif, Pengantar Penelitian dalam pendidikan. Surabaya, Usaha Nasional, 1982

Fiere, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto Yogyakarta: Read dan Pustaka Pelajar, 2000.

Harefa, Andrias, Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005

Hardiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Menejemen Pendidikan Di Indonesia Jakarta: Rieneka Cipta 2004.

Hidayat, Nur. “Problem Pemenuhan Anggaran Pendidikan”, http//www.sampoernafoundation.org/content/view/113/103/lang,id/, diakses tanggal 14 Juli 2006.

Harefa, Anrias. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas, 2000, xxvi.

Irawan, Ade dkk. Mendagangkan Sekolah: Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta. Jakarta: Indonesia Corruption Watch, ‎‎2004).

Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan. Yogyakarta: Suluh Press, 2005.

Illich, Ivan. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, terj. Sonny Keraf Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.

J Maeleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya Karya, 2002.

J. Drost. “Kurikulum Berbasis Kompetensi”, www.sekolahindonesia.co.id, diakses tanggal 6 Agustus 2006.

________, Dari KBK sampai MBS Jakarta: Kompas, 2005.

“Madrasah, Pendidikan Alternatif yang Terlupakan”, Gontor, November ‎‎2005.

Kartono,Kartini. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti. Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

Mu’arif, Wacana Pendidikan kritis : Menelanjangi Problematika, Merentas Masa Depan Pendidikan Kita. Yogyakarta : Ircisod, 2005.

Muid, Abdul. “Peran Masyarakat dalam Peningkatan Pendidikan Menengah”, Rindang, 30 November 2004, 24.

Mulyoto. “Kita Tidak Pernah Konsisten”, Kompas, 6 Maret 2006, 14

Murtiningsih, Siti Pendidikan Alat PerlawananYogyakarta: Resist Book, ‎‎2004.

“Modus Baru Jual Buku”, Kompas, 5 Agustus 2006, 12.

Nazir , Moh, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999

Nandika, Dodi. “PP (Peraturan Pemerintah) No 19 Tahun 2005”, www.SekolahIndonesia.co.id, diakses tanggal 12 Juli 2006.

Prasetyo, Eko, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta: Resist Book, ‎‎2005.

Pasti, Priyono. “UN Jadikan Siswa Fotokopi Guru”, Kompas, 22 Mei 2006.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, Surabaya: Arkola, 2005.

Prasetyo, Eko.Guru: Mendidik Itu Melawan !. Yogyakarta : Resist Book, ‎‎2006.

“Perlu Revolusi Sistemik: Komite Sekolah Harus Mengontrol Anggaran Pendidikan”, Kompas, 9 Juni 2006, 12.

“Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah”, http//www.Depdiknas.go.id, diakses tanggal 18 Juli 2006.

“Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Dasar”, http//www.Depdiknas.go.id, diakses tanggal 18 Juli 2006.

Riyadi, Ali Politik Pendidikan: Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.

Supriyadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar Dan Menengah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Sukirno. Pedoman Kerja Komite Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, ‎‎2006.

“Standardisasi Melegitimasi UN”, Kompas, 13 April 2006, 12.

Suryanto. “Teror Itu Bernama Ujian Nasional”, Wawasan, 29 Juni 2006.

“Siswa Cemaskan Hasil UN”, Kompas, 19 Mei 2006, 12.

Sutrisno. Revolusi Pendidikan di Indonesia: Membedah Metode dan Teknik Pendidikan Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005.

Susetyo, Beny. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta : LKIS, 2005.

Supriadi, Dedi. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000.

Sidi, Indra Djati Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Paramadina dan Logos Wacana Ilmu, 2001.

Supriyoko. Reformasi Sistem Pendidikan Menuju Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Suparno,Paul “Tunjangan Fungsional Guru”, Kompas, 20 April 2006, 6.

Tilaar,H.A.R.. Membedahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, ‎‎2002.

_________. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas, 2005.

“Tata Ulang Mekanisme Penyaluran BOS”, Kompas, 20 April 2006, 12.

Undang-undang Siste Pendidikan Nasional 2003. Jakarta : Sinar Grafika, ‎‎2003..

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Surabaya: Apollo, t.t.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003, Jakarta: Sinar Grafika, ‎‎2003.

Wahono, Francis, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta: INSIST PRESS CINDELARAS, 2001

Wisudo, Bambang “Pendidikan, Bergerak dari Titik Nadir”, Kompas, 19 Mei ‎‎2006, 52.